Empat perusahaan dalam negeri yang bergerak di industri tekstil dan produk tekstil (TPT) menghadapi dampak serius akibat praktik dumping berupa impor benang filamen poliester asal China. Praktik ini menyebabkan persaingan usaha yang tidak sehat, menekan harga pasar, dan mengancam kelangsungan hidup industri dalam negeri. Meskipun tiga dari empat perusahaan masih memiliki peluang untuk beroperasi penuh berkat suntikan investasi, seluruh rencana pemulihan itu kini bergantung pada kepastian kebijakan pemerintah dalam menerapkan bea masuk antidumping (BMAD).
Temuan Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) dari Kementerian Perdagangan menunjukkan adanya praktik dagang curang yang dilakukan melalui impor produk benang filamen poliester jenis partially oriented yarn dan drawn textured yarn (POY-DTY) dari China. Akibatnya, satu perusahaan telah tutup permanen, satu lagi tutup sementara, dan dua perusahaan hanya beroperasi 40 persen dari kapasitas penuhnya.
Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI), Redma Gita Wirawasta, menekankan bahwa BMAD adalah langkah krusial untuk memastikan keberlangsungan industri tekstil nasional. Menurutnya, investasi sebesar 250 juta dolar AS yang ditujukan untuk sektor tekstil hulu juga masih tertahan karena menunggu kepastian regulasi tersebut. Jika kebijakan BMAD segera diterapkan, tiga perusahaan terdampak diproyeksikan bisa kembali beroperasi penuh, dan satu perusahaan asal China yang direlokasi ke Indonesia siap mulai produksi.
Dengan reaktivasi tersebut, industri dalam negeri dapat meningkatkan kapasitas produksi benang filamen poliester hingga 200.000 ton per tahun, cukup untuk memenuhi kebutuhan nasional dan mengurangi ketergantungan terhadap impor yang pada 2024 mencapai 140.000 ton. Redma menegaskan bahwa industri nasional sebenarnya mampu bersaing jika pasar diatur secara adil dan bebas dari praktik dumping yang merusak struktur harga.
Ia juga menggarisbawahi bahwa kebijakan antidumping tidak akan mengganggu keseimbangan penawaran dan permintaan dalam negeri. Apabila terjadi kekurangan pasokan, negara seperti India, Thailand, atau Taiwan dapat menjadi alternatif sumber impor yang lebih sehat karena tidak terlibat dalam praktik dumping yang dimaksud.
Sementara itu, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) juga mengakui bahwa sejumlah kebijakan seperti Pusat Logistik Berikat (PLB) dan Kawasan Berikat (KB) yang awalnya ditujukan untuk mendukung ekspor justru dimanfaatkan untuk memasukkan produk impor murah ke pasar domestik. Hal ini terjadi karena barang impor yang masuk melalui PLB tidak dikenakan bea masuk dan bebas dari aturan larangan dan pembatasan, sehingga dapat bersaing secara tidak adil dengan produk lokal.
Juru Bicara Kemenperin, Febri Hendri Antoni Arief, menyatakan bahwa pengawasan ketat terhadap PLB dan KB menjadi prioritas pemerintah untuk melindungi pelaku industri di luar kawasan berikat yang tidak memperoleh insentif serupa. Banyak kasus menunjukkan bahwa barang-barang yang seharusnya diekspor justru beredar di pasar domestik, merusak iklim persaingan usaha.
Kemenperin kini terus mendorong berbagai upaya proteksi, seperti penerapan wajib Standar Nasional Indonesia (SNI), penguatan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN), dan peningkatan pengawasan barang impor. Seluruh langkah tersebut diarahkan untuk menciptakan iklim usaha yang sehat, adil, dan mendukung pertumbuhan industri nasional secara berkelanjutan.