Print

Setelah sempat terhenti sejak 2016, rencana pembentukan Undang-Undang Pertekstilan kembali bergulir. Badan Legislasi (Baleg) DPR RI kini tengah membahas draf RUU Pertekstilan dengan harapan besar untuk membangkitkan kembali kejayaan industri tekstil nasional. Pemerintah melalui Kementerian Perindustrian pun menyambut baik langkah ini.

Wakil Menteri Perindustrian, Faisol Riza, menyatakan bahwa aturan baru memang dibutuhkan demi menyesuaikan diri dengan perkembangan sektor tekstil yang dinamis. Ia juga menyinggung upaya pemerintah dalam memperbaiki tata niaga serta impor produk tekstil melalui revisi Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 8 Tahun 2023 yang selama ini menuai banyak keluhan dari pelaku industri. Menurutnya, kombinasi antara RUU Pertekstilan dan perbaikan regulasi ini dapat menjawab berbagai persoalan yang ada sekaligus mengantisipasi tantangan ke depan. Lebih jauh, Faisol menyebut bahwa ini adalah momentum untuk mengembalikan kejayaan ekspor tekstil Indonesia.

Baleg sendiri telah melibatkan berbagai pemangku kepentingan dalam proses penyusunan RUU ini. Sejumlah asosiasi seperti Ikatan Ahli Tekstil, Asosiasi Pertekstilan Indonesia, Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia, serta Asosiasi Pengrajin dan Pengusaha Batik diundang untuk memberikan masukan pada 26 Mei 2025. Salah satu poin menarik dalam draf RUU per 12 Agustus 2024 adalah usulan pembentukan kementerian atau lembaga khusus yang akan bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Lembaga ini diharapkan mampu mengelola sektor tekstil dari hulu hingga hilir, mencakup aspek perencanaan, SDM, riset, pendanaan, hingga pelindungan kekayaan intelektual.

Wakil Ketua Baleg, Ahmad Iman Sukri, mengungkapkan bahwa pembahasan RUU ini dilakukan secara maraton agar hasilnya benar-benar solutif bagi industri tekstil, bukan justru menambah beban baru. Ia menyatakan keyakinannya bahwa undang-undang ini akan menjadi jalan untuk mengangkat kembali industri tekstil Indonesia yang pernah berjaya.

Draf RUU Pertekstilan memuat berbagai poin penting. Di antaranya adalah ruang lingkup pengaturan penyelenggaraan pertekstilan yang mencakup perencanaan, industri, perdagangan, SDM, riset, pendanaan, kelembagaan, sistem data, kekayaan intelektual, hingga peran masyarakat. Penyelenggaraan industri tekstil diatur agar terintegrasi dari hulu hingga hilir, dengan dukungan kebijakan energi, ketersediaan bahan baku, teknologi, infrastruktur, serta dorongan menuju industri hijau.

Perdagangan tekstil juga diatur secara rinci. Pemerintah pusat dan daerah diberi peran dalam melindungi pasar dalam negeri, mengembangkan ekspor, serta mengendalikan impor. Pengembangan sarana perdagangan juga menjadi perhatian agar distribusi produk tekstil lebih efektif.

Ketentuan pidana dalam RUU ini pun cukup tegas. Siapa pun yang melanggar ketentuan ekspor-impor bahan baku dan produk tekstil—baik tanpa izin, tidak sesuai izin, maupun barang bekas—terancam hukuman pidana penjara hingga lima tahun. Ini menunjukkan keseriusan pembuat undang-undang dalam menjaga keberlanjutan industri dari praktik-praktik yang merugikan.

Dengan semangat baru dan regulasi yang lebih komprehensif, RUU Pertekstilan diharapkan mampu menjadi fondasi kuat bagi kebangkitan sektor tekstil Indonesia—sektor strategis yang bukan hanya menyerap jutaan tenaga kerja, tetapi juga menyumbang signifikan terhadap perekonomian nasional.