Print

Pemerintah menyambut baik langkah Dewan Perwakilan Rakyat melalui Badan Legislasi Nasional yang tengah menyusun Rancangan Undang-Undang (RUU) Pertekstilan. Wakil Menteri Perindustrian Faisol Riza menilai hadirnya regulasi ini sangat penting untuk menjawab berbagai tantangan yang dihadapi industri tekstil nasional dan menjadi momentum kebangkitan sektor strategis ini.

Menurut Faisol, Indonesia sudah saatnya memiliki aturan khusus yang adaptif terhadap dinamika industri tekstil yang terus berkembang. Pemerintah melalui Kementerian Perindustrian juga siap melakukan pembenahan, termasuk memperbaiki tata niaga serta merevisi aturan impor yang selama ini banyak dikeluhkan pelaku industri. Salah satu yang tengah dievaluasi adalah Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 8 Tahun 2023 yang dinilai terlalu longgar dalam membuka keran impor tekstil.

RUU Pertekstilan dan revisi regulasi perdagangan ini diharapkan mampu menyelesaikan persoalan mendasar industri tekstil sekaligus memulihkan kejayaan sektor ini, yang dulunya pernah menjadi andalan ekspor nasional. Faisol meyakini, dengan adanya regulasi yang komprehensif dan perlindungan yang kuat, Indonesia bisa kembali menjadi pemain utama dalam industri tekstil global.

Dukungan terhadap RUU ini juga datang dari berbagai asosiasi yang mewakili pelaku industri. Pada akhir Mei 2025, Baleg DPR telah melibatkan Ikatan Ahli Tekstil, Asosiasi Pertekstilan Indonesia, Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia, serta para pengrajin dan pengusaha batik untuk memberikan masukan atas draf yang tengah disusun. Salah satu usulan penting dalam draf per 12 Agustus 2024 adalah pembentukan lembaga khusus di bawah presiden atau kementerian yang menangani industri tekstil secara terintegrasi, meliputi aspek perencanaan, SDM, riset, permodalan, data, ekspor-impor, hingga perlindungan kekayaan intelektual.

Wakil Ketua Baleg Ahmad Iman Sukri menegaskan bahwa RUU ini bukan sekadar menambah tumpukan aturan, melainkan bertujuan mencari solusi nyata untuk menghidupkan kembali sektor tekstil yang selama ini terpuruk. Hal senada diungkapkan anggota Baleg dari Partai Golkar, Firman Subagyo, yang menyebut bahwa keterlambatan respons pemerintah menjadi salah satu penyebab hancurnya industri tekstil nasional, ditambah dengan persoalan persaingan produk, maraknya impor ilegal, dan menurunnya permintaan ekspor.

Tekanan dari publik juga semakin besar. Ribuan buruh yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN) menggelar aksi unjuk rasa di depan Istana Negara pada 1 Juni 2025, menuntut perlindungan yang lebih serius terhadap industri dalam negeri. Mereka mendesak pemerintah memberantas para importir ilegal yang dinilai sebagai penyebab gelombang PHK di berbagai pabrik. Presiden KSPN, Ristadi, menyampaikan harapan agar pemerintah lebih melindungi pelaku industri nasional sehingga pekerja tidak lagi dihantui ancaman kehilangan pekerjaan akibat kebangkrutan perusahaan.

Dengan semakin menguatnya dorongan dari berbagai pihak, RUU Pertekstilan kini menjadi harapan besar bagi revitalisasi sektor tekstil nasional. Jika dijalankan dengan komitmen tinggi dan pengawasan yang ketat, regulasi ini diyakini mampu membuka lembaran baru bagi masa depan industri tekstil Indonesia.