Print

Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) mendesak pemerintah untuk menetapkan Bea Masuk Anti-Dumping (BMAD) sebesar 20% terhadap produk benang filamen impor, khususnya dari Tiongkok. Langkah ini dinilai krusial untuk menyelamatkan industri tekstil nasional yang tengah menghadapi tekanan berat akibat praktik dumping yang menciptakan distorsi harga di pasar domestik.

Ketua APSyFI, Redma Gita Wirawasta, menjelaskan bahwa dumping yang dilakukan produsen luar negeri membuat harga benang filamen di pasar dalam negeri jatuh di bawah harga wajar. Situasi ini merugikan produsen lokal, terutama di sektor hulu seperti industri benang filamen dan polimer. BMAD sebesar 20% dinilai sebagai solusi yang seimbang: cukup untuk membantu pemulihan industri hulu, namun tetap memperhatikan dampak terhadap sektor hilir.

Menurut Redma, harga normal benang filamen berada sekitar 20% di atas harga dumping. Jika BMAD diterapkan terlalu tinggi, industri hilir bisa terbebani, sedangkan jika terlalu rendah, industri hulu tak punya ruang untuk bertahan. Maka dari itu, angka 20% dinilai sebagai titik tengah yang paling sehat secara industri.

Ia juga mengomentari hasil rekomendasi awal dari Komite Anti-Dumping Indonesia (KADI) yang mengusulkan tarif BMAD bervariasi hingga 42,3%. Meski memahami urgensi kebijakan tersebut, APSyFI menilai sebagian besar tarif yang diusulkan terlalu tinggi dan berpotensi menekan sektor hilir. Oleh karena itu, APSyFI menyarankan penurunan tarif dengan menetapkan rata-rata BMAD sebesar 20% sebagai alternatif yang lebih proporsional.

Redma menekankan bahwa dampak dumping tidak hanya dirasakan produsen benang filamen, tetapi juga menular ke seluruh rantai industri tekstil. Produk impor telah menyerap pangsa pasar benang pintal dalam negeri, membuat industri pemintalan terpukul. Dampaknya pun merambat ke industri polimer, yang kehilangan pasar karena pemintal tak lagi menyerap bahan baku dalam jumlah signifikan.

Ia menyebut bahwa sejumlah perusahaan besar seperti Polichem, Polifyn, dan APF sudah menutup lini produksi polimer mereka akibat menurunnya permintaan. Saat ini, hanya sekitar empat perusahaan yang masih bertahan memproduksi polimer untuk kebutuhan dalam negeri, itupun dengan kapasitas yang terbatas.

Dengan kondisi yang semakin memprihatinkan, APSyFI berharap pemerintah segera mengambil tindakan strategis melalui penerapan BMAD yang berkeadilan. Kebijakan ini dinilai tidak hanya akan membantu industri hulu kembali bergairah, tetapi juga menjaga kesinambungan seluruh ekosistem industri tekstil nasional.