Print

Industri manufaktur menjadi penopang utama perekonomian Indonesia dengan kontribusi sebesar 18,98 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional pada tahun 2024. Di antara berbagai sektor yang tergabung dalam industri manufaktur, sektor tekstil memiliki peran yang sangat penting, tidak hanya karena kapasitas produksinya, tetapi juga karena kemampuannya dalam menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar, terutama dari kelompok berpendidikan rendah hingga menengah.

Namun, badai Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang terus menghantui sejak beberapa tahun terakhir membuat prospek sektor ini kian tertekan. Padahal, karakteristik inklusif industri tekstil menjadikannya sangat penting dalam menjaga kestabilan sosial dan ekonomi. Wakil Direktur LPEM UI, Mohamad Dian Revindo, mengungkapkan bahwa sekitar 63 persen tenaga kerja di sektor tekstil merupakan lulusan SLTP atau lebih rendah, dan 33 persen merupakan lulusan SLTA. Hal ini menunjukkan bahwa industri tekstil bukan hanya penggerak ekonomi, tetapi juga tumpuan hidup bagi jutaan pekerja dengan keterampilan menengah ke bawah.

Revindo menekankan bahwa sektor tekstil perlu mendapat perlakuan khusus dan tidak bisa disamaratakan dengan sektor lain. Perlakuan khusus tersebut mencakup berbagai aspek strategis seperti penyediaan bahan baku, penyesuaian harga energi, kebijakan impor, promosi ekspor, hingga pemanfaatan perjanjian perdagangan internasional. Ia menyoroti bahwa industri tekstil berada dalam posisi strategis baik di hulu, tengah, maupun hilir, yang masing-masing memiliki tantangan tersendiri. Misalnya, di sektor hulu seperti industri benang, keberlangsungan sangat tergantung pada ketegasan pemerintah dalam kebijakan hilirisasi petrokimia dan pemanfaatan bahan baku murah dari luar negeri.

Sementara itu, untuk sektor tengah yang berkaitan dengan pemintalan dan penenunan, Revindo menggarisbawahi pentingnya penyesuaian harga energi karena mesin-mesin produksi yang digunakan sangat padat modal dan energi. Sedangkan untuk sektor hilir, yaitu produk tekstil jadi, isu utama yang dihadapi adalah pemanfaatan perjanjian perdagangan internasional. Indonesia telah menjalin 18 perjanjian dagang, namun belum jelas sejauh mana tekstil dan produk tekstil masuk dalam daftar tawaran dan permintaan dalam negosiasi tersebut.

Revindo juga menyoroti pentingnya pengelolaan impor sebagai bentuk perlindungan termurah bagi industri dalam negeri. Menurutnya, impor harus dibedakan menjadi tiga jenis: impor legal dan fair, impor legal tapi tidak fair (misalnya karena praktik dumping atau under invoicing), serta impor ilegal. Masing-masing jenis impor ini membutuhkan pendekatan kebijakan yang berbeda, namun yang terpenting adalah bagaimana pemerintah memanfaatkan instrumen regulasi dan penegakan hukum untuk melindungi industri dalam negeri tanpa harus mengandalkan insentif fiskal yang memberatkan anggaran negara.

Dengan posisi strategis dan peran vitalnya dalam menyerap tenaga kerja serta menggerakkan perekonomian, sektor tekstil layak mendapatkan perhatian dan perlakuan khusus dari pemerintah. Kebijakan yang tepat sasaran dapat menjadi penopang penting dalam menjaga keberlangsungan industri ini sekaligus mengurangi risiko sosial akibat PHK massal.