Print

Rencana pemerintah untuk menerapkan bea masuk anti-dumping (BMAD) terhadap produk benang sintetis seperti polyester oriented yarn (POY) dan draw textured yarn (DTY) dinilai belum tentu efektif dalam memulihkan industri tekstil nasional secara menyeluruh. Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) menyampaikan kekhawatirannya bahwa kebijakan ini justru bisa menjadi beban tambahan bagi sektor hilir yang padat karya dan menopang ekspor serta penyerapan tenaga kerja.

Ketua Umum API, Jemmy Kartiwa, menegaskan bahwa efektivitas BMAD sangat tergantung pada struktur industri serta kesiapan sektor hulu dan hilir dalam menghadapi dampaknya. Menurutnya, POY dan DTY merupakan bahan baku strategis yang digunakan secara luas, sehingga penambahan bea justru berisiko mengganggu kapasitas produksi, menaikkan biaya produksi, menurunkan daya saing, dan pada akhirnya melemahkan industri tekstil secara keseluruhan.

Jemmy juga menyatakan bahwa penerapan BMAD pada bahan baku bisa menjadi kontra produktif, terlebih ketika sektor hilir belum cukup kuat untuk menyerap dampaknya. Ia menilai bahwa kebijakan perlindungan yang lebih tepat sebaiknya difokuskan pada produk hilir seperti pakaian dan tekstil rumah tangga, yang lebih rawan terhadap praktik dumping dan kelebihan pasokan dari luar negeri.

Sebaliknya, untuk sektor hulu seperti benang dan serat, API menyarankan pendekatan berbasis insentif—baik fiskal maupun non-fiskal—untuk mendukung restrukturisasi industri, modernisasi mesin, serta penyediaan bahan baku dan energi yang stabil dan terjangkau. Hal ini diyakini akan lebih efektif mendorong pertumbuhan dan efisiensi industri dalam jangka panjang.

API juga mengingatkan bahwa perlindungan industri tidak cukup hanya dengan kebijakan tarif seperti BMAD. Diperlukan pendekatan menyeluruh dan berbasis data yang melibatkan koordinasi lintas kementerian, peningkatan pengawasan impor ilegal, digitalisasi sistem perbatasan, serta harmonisasi kebijakan perdagangan dan industri.

Untuk itu, API mendorong dibentuknya forum dialog teknis yang inklusif, melibatkan seluruh pemangku kepentingan dari hulu hingga hilir. Forum ini diharapkan mampu menyerap aspirasi pelaku industri secara proporsional dan menjadi dasar perumusan kebijakan yang berkeadilan dan berkelanjutan bagi industri tekstil nasional.