Print

Perang dagang berkepanjangan antara Amerika Serikat (AS) dan China telah membawa imbas yang signifikan bagi pasar Indonesia. Salah satu sektor yang paling terdampak adalah industri tekstil nasional, yang kini semakin tertekan oleh lonjakan produk impor asal China.

Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI), Redma Gita Wirawasta, mengungkapkan bahwa volume impor benang filamen terus mengalami peningkatan tiap tahun. Dalam periode Januari hingga April 2025 saja, Indonesia mencatat impor drawn textured yarn (DTY) sebanyak 41.658 ton, partially oriented yarn (POY) sebesar 36.582 ton, serta spin drawn yarn (SDY) sebanyak 22.286 ton. Tidak hanya benang, masuknya kain mentah, kain jadi, hingga produk garmen dengan harga murah juga terus meningkat—sekitar 90 persen di antaranya berasal dari China.

Kondisi ini berdampak langsung pada kapasitas produksi dalam negeri. Redma menyebut bahwa utilisasi produksi industri benang filamen lokal hanya tinggal 45 persen karena tak mampu bersaing dengan harga rendah produk impor. “Harga produk China murah karena adanya kebijakan dumping,” ujarnya. Ia pun menekankan perlunya pemerintah untuk segera memberlakukan bea masuk antidumping (BMAD), dengan usulan tarif sebesar 20 persen agar industri tekstil domestik memiliki daya saing yang lebih adil.

Lonjakan impor dari China ke Indonesia sejalan dengan peningkatan ekspor China ke kawasan ASEAN. Data dari General Administration of Customs China mencatat bahwa ekspor Negeri Tirai Bambu ke negara-negara ASEAN pada Mei 2025 mencapai 58,37 miliar Dollar Amerika, meningkat 15 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Indonesia menjadi salah satu negara dengan lonjakan signifikan, yakni mencapai 7,1 miliar Dollar Amerika atau sekitar Rp115 triliun (kurs Rp16.277), naik 13 persen dari Mei 2024.

Secara akumulatif, nilai impor Indonesia dari China sepanjang Januari hingga Mei 2025 mencapai 33,45 miliar Dollar Amerika, meningkat 17 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Di sisi lain, ekspor China ke Amerika Serikat justru turun sebesar 10 persen pada periode yang sama, menjadi 177,41 miliar Dollar Amerika. Penurunan ekspor ke AS inilah yang mendorong produsen China untuk mengalihkan pasar ke negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia, yang kini menjadi sasaran utama produk tekstil murah.

Situasi ini menjadi sinyal penting bagi pemerintah untuk segera mengambil langkah strategis dan protektif demi menjaga keberlangsungan industri tekstil nasional dari tekanan produk impor yang semakin agresif.