Print

Langkah Kementerian Perdagangan yang membatalkan rencana pengenaan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) atas impor benang filamen sintetis dari Tiongkok mendapat respons positif dari para pelaku industri tekstil nasional. Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) menyatakan keputusan ini mencerminkan keberpihakan pemerintah terhadap kelangsungan dan daya saing sektor tekstil dalam negeri.

Wakil Ketua Umum Bidang Perdagangan API, Anne P. Sutanto, mengungkapkan bahwa pemberlakuan BMAD terhadap produk seperti Partially Oriented Yarn (POY) dan Drawn Textured Yarn (DTY) justru berisiko menurunkan daya saing industri hilir. Pasalnya, selama dua tahun terakhir kebutuhan akan POY dalam negeri meningkat hampir sepuluh kali lipat dibandingkan kapasitas produksi nasional.

Ia menambahkan, kekhawatiran mengenai ancaman dumping dari negara lain sebenarnya dapat diatasi melalui pengaturan impor oleh pemerintah yang disesuaikan dengan kapasitas produksi nasional dan kebutuhan industri pengguna. Dalam pertemuan sebelumnya, perwakilan dari 101 perusahaan tekstil bahkan menyatakan kesiapan mereka untuk menyerap produksi dalam negeri selama praktik bisnis yang dijalankan sesuai standar industri.

Sebagai solusi jangka panjang, para pelaku industri menyarankan agar Kementerian Perindustrian mengatur keseimbangan antara kebutuhan dan pasokan POY dan DTY di pasar domestik. Usulan ini dinilai lebih efektif daripada menerapkan kebijakan proteksionis yang justru bisa berdampak negatif terhadap sektor padat karya seperti tekstil.

Menteri Perdagangan Budi Santoso sebelumnya menjelaskan bahwa keputusan untuk tidak mengenakan BMAD mempertimbangkan berbagai faktor, termasuk keterbatasan pasokan benang filamen sintetis dalam negeri. Ia juga menyoroti bahwa sebagian besar produsen dalam negeri menggunakan hasil produksinya untuk kebutuhan sendiri, sehingga ketergantungan industri hilir terhadap impor masih cukup tinggi.

BMAD sejatinya merupakan instrumen perlindungan pasar dari praktik dumping, yakni penjualan produk asing di bawah harga pasar dalam negeri. Namun, dalam konteks industri tekstil saat ini, penerapan kebijakan tersebut dinilai belum relevan dan justru dapat mengganggu keseimbangan rantai pasok nasional.

Dengan keputusan ini, pelaku industri berharap pemerintah terus melibatkan semua pemangku kepentingan dalam merumuskan kebijakan strategis demi menciptakan iklim usaha yang sehat dan kompetitif bagi industri tekstil Indonesia.