Print

Keputusan pemerintah untuk menghentikan pengenaan Bea Masuk Anti-Dumping (BMAD) terhadap produk benang filamen asal Tiongkok menuai reaksi beragam. Di satu sisi, Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) menolak kebijakan tersebut dan bersikukuh agar BMAD tetap diberlakukan. Namun, di sisi lain, sebanyak 101 perusahaan tekstil nasional menyatakan dukungannya terhadap keputusan tersebut dan mengapresiasi langkah pemerintah.

Salah satu pelaku usaha tekstil dari Bandung, Amril Firdaus, menyampaikan ucapan terima kasih kepada Presiden RI Prabowo Subianto dan jajaran kementerian, khususnya Menteri Perdagangan Budi Santoso. Menurutnya, keberanian pemerintah dalam mengambil kebijakan ini merupakan bentuk nyata keberpihakan kepada industri padat karya yang selama ini menjadi tulang punggung perekonomian.

Amril juga membantah klaim APSyFI yang menyebut akan terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) massal akibat pembatalan BMAD. Ia menilai kekhawatiran tersebut tidak berdasar, karena mayoritas perusahaan anggota APSyFI justru merupakan industri padat modal, bukan padat karya. Menurutnya, alasan utama mereka menuntut diberlakukannya BMAD adalah karena keengganan untuk berinovasi dan mengganti mesin-mesin produksi yang sudah usang.

"Mereka menuduh dumping untuk menutupi kelemahan internal. Padahal, persoalannya terletak pada ketidaksiapan mereka dalam memperbarui teknologi. Jangan terus-menerus memaksa pemerintah untuk melindungi jika tidak ada upaya pembenahan dari dalam,” tegasnya.

Lebih jauh, Amril mengingatkan bahwa jika kebijakan BMAD tetap dipaksakan, justru bisa menghancurkan industri tekstil nasional. Ia mendorong seluruh pihak untuk berpikir jernih dan tidak memaksakan kepentingan kelompok tertentu yang justru bisa merugikan ekosistem industri secara keseluruhan.

Amril juga mengungkap bahwa sebenarnya telah ada diskusi bersama lintas pelaku industri mengenai solusi non-tarif yang mampu menjaga keseimbangan antara produksi lokal dan impor. Dalam skema tersebut, produk lokal tetap menjadi prioritas, sementara kebutuhan tambahan dipenuhi dari impor dengan syarat dan pengawasan yang telah disepakati.

Ia mengajak semua pelaku industri tekstil untuk bersatu dan mengalihkan fokus perjuangan kepada pengendalian impor produk pakaian jadi dan garmen, yang saat ini justru membanjiri pasar dalam negeri, termasuk pakaian bekas. “Kita seharusnya berjuang bersama melawan membanjirnya pakaian jadi impor. Indonesia sebagai produsen tekstil seharusnya tidak menjadi tempat pembuangan baju bekas. Ini soal harga diri bangsa,” pungkasnya.