Print

Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) menegaskan bahwa kebijakan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) berpotensi menimbulkan dampak negatif bagi industri hulu tekstil nasional. Pernyataan ini merespons usulan dari Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) yang meminta agar BMAD dikenakan terhadap produk benang filamen tertentu asal Tiongkok.

Wakil Ketua Umum Bidang Perdagangan API yang juga menjabat sebagai Ketua Bidang Perdagangan Apindo, Anne Patricia Sutanto, menyampaikan bahwa keputusan pemerintah melalui Kementerian Perdagangan untuk tidak melanjutkan pengenaan BMAD pada produk polyester oriented yarn (POY) dan draw textured yarn (DTY) adalah langkah tepat.

Menurut Anne, APSyFI hanyalah bagian kecil dari komunitas industri tekstil dan tidak mewakili keseluruhan sektor industri tekstil nasional, apalagi organisasi sebesar API. Ia menekankan bahwa perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam APSyFI lebih bersifat padat modal, sedangkan sektor tekstil nasional yang lebih luas justru bersifat padat karya.

Anne mengungkapkan kekhawatiran bahwa pengenaan BMAD atas POY akan mempersulit industri hilir tekstil untuk bersaing dengan produk impor jadi. Hal ini dapat mengakibatkan kerugian berantai yang bermuara pada penutupan pabrik-pabrik dan pemutusan hubungan kerja (PHK) secara massal.

“Jika kemarin BMAD itu dilakukan, banyak pabrik yang akan tutup dan sangat jelas akan terjadi PHK massal di industri tekstil,” ujarnya. Oleh karena itu, API dan Apindo memberikan apresiasi terhadap langkah pemerintah, khususnya Presiden Prabowo Subianto dan Menteri Perdagangan Budi Santoso, atas keputusan tidak melanjutkan pengenaan BMAD tersebut.

Keputusan Menteri Perdagangan ini secara resmi tertuang dalam surat balasan kepada Ketua Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) tertanggal 13 Juni 2025. Langkah ini dinilai telah menyelamatkan ratusan industri tekstil dan menjaga keberlangsungan pekerjaan bagi ratusan ribu tenaga kerja di sektor tersebut.