Print

Keputusan Menteri Perdagangan Budi Santoso yang menolak usulan pengenaan Bea Masuk Anti-Dumping (BMAD) terhadap produk benang filament asal Tiongkok memunculkan perbedaan pendapat tajam di kalangan pelaku industri tekstil. Langkah ini disebut-sebut telah memecah suara di antara asosiasi dan pelaku industri, yang memiliki kepentingan berbeda-beda dalam rantai pasok tekstil nasional.

Redma Gita Wirawasta, Ketua Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI), mengungkapkan bahwa ketidakselarasan pandangan bahkan terjadi di dalam tubuh Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) yang merupakan payung besar bagi pelaku industri tekstil nasional. Menurutnya, pro dan kontra terkait kebijakan BMAD ini tidak bisa disamaratakan, sebab di dalam API sendiri terdapat tiga kelompok besar yang memiliki orientasi usaha dan kepentingan yang berbeda.

Kelompok pertama merupakan pelaku industri manufaktur tekstil yang fokus pada produksi, terutama sektor spinning. Mereka sangat mendukung penerapan BMAD karena melihat banjirnya produk dumping dari luar negeri sebagai ancaman besar terhadap keberlangsungan industri nasional. Mereka meyakini bahwa jika praktik dumping terus dibiarkan, maka akan merusak ekosistem industri tekstil dari hulu hingga hilir, termasuk mengancam daya saing dan keberlangsungan usaha domestik yang tidak bergantung pada impor.

Kelompok kedua terdiri dari perusahaan tekstil yang tetap menjalankan kegiatan produksi, namun juga melakukan impor dalam skala terbatas. Kelompok ini berada di tengah spektrum perdebatan, tidak sepenuhnya menolak maupun mendukung pengenaan BMAD.

Sementara itu, kelompok ketiga dinilai sebagai pemain besar dalam kegiatan impor. Redma menuding bahwa kelompok ini tidak tergabung secara resmi dalam API, namun kerap menggunakan asosiasi tersebut sebagai saluran untuk menyuarakan penolakan terhadap BMAD. Menurutnya, para importir ini tidak hanya mengimpor dalam jumlah besar, tetapi juga menjual barang dumping di pasar domestik, yang kemudian merusak harga dan mengganggu stabilitas industri nasional.

Lebih jauh, Redma mengklaim bahwa kelompok importir ini memiliki jejaring kuat dengan sejumlah pejabat kementerian, sehingga mampu memberikan tekanan yang berujung pada keputusan pemerintah yang dinilai tidak berpihak pada kepentingan strategis industri nasional.

Dengan latar belakang ini, jelas bahwa perdebatan soal BMAD terhadap benang filament asal China bukan semata soal kebijakan perdagangan, melainkan mencerminkan tarik-menarik kepentingan antara pelaku industri yang berorientasi pada produksi dan pihak-pihak yang diuntungkan dari praktik impor. Hal ini menunjukkan bahwa penentuan kebijakan di sektor strategis seperti tekstil harus memperhatikan dampak jangka panjang terhadap ketahanan industri nasional, bukan semata kepentingan jangka pendek sebagian pihak.