Print

Di bawah naungan joglo klasik Dusun Giriloyo, tangan-tangan perempuan menari di atas sehelai kain putih, menyulam kisah lewat tetes malam panas. Salah satunya adalah Imaroh, pembatik tulis berusia 57 tahun dari Desa Wukirsari, Kecamatan Imogiri, yang tetap setia menorehkan motif Wahyu Tumurun, warisan leluhur yang ia pelajari sejak kecil dari ibunya.

Imaroh mulai membatik sejak usia 10 tahun, dan kini telah menjadi bagian dari sekitar 600 pembatik tulis yang tergabung dalam Koperasi Jasa Kampung Batik Giriloyo. Setiap pembatik mengerjakan bagiannya dari rumah, kemudian menitipkan hasilnya ke galeri kampung untuk pewarnaan dan penjualan. Bagi Imaroh, membatik bukan sekadar pekerjaan, melainkan bentuk ketekunan dan kesabaran. Satu lembar batik tulis bisa memakan waktu hingga dua bulan untuk diselesaikan, tergantung pada detail dan kerumitannya. Meski hasilnya bernilai tinggi, kadang ia harus menghadapi tawaran harga yang jauh dari layak.

Gempa bumi Bantul tahun 2006 menjadi titik balik bagi para perempuan Giriloyo. Mereka yang sebelumnya hanya menjadi buruh batik, perlahan bertransformasi menjadi perajin mandiri sejak 2008. Kini, mereka menguasai seluruh proses produksi dan pemasaran, menjaga martabat batik tulis sebagai warisan budaya.

Menurut Khibtiyah, Koordinator Koperasi Giriloyo, batik sejati adalah yang dibuat dengan proses manual menggunakan canting dan malam panas. Mereka menolak menyebut tekstil printing sebagai batik, karena tidak melewati proses spiritual dan ketekunan yang sama. Komunitas ini juga memilih menggunakan pewarna alami seperti daun indigofera, kulit mahoni, dan kunyit, bukan hanya demi kelestarian lingkungan, tapi juga untuk mempertahankan keaslian karakter batik Giriloyo.

Selain berkarya, mereka juga aktif dalam edukasi. Ribuan pelajar, mahasiswa, hingga wisatawan mancanegara datang setiap bulan untuk belajar langsung proses membatik dan memahami makna filosofis dari setiap motif, seperti Truntum yang melambangkan cinta yang tumbuh kembali, hingga Parang yang mencerminkan keteguhan hati.

Pemerintah daerah melalui Dinas Perindustrian dan Perdagangan DIY juga turut mendukung pelestarian batik tulis dengan membangun Museum Batik Jogja serta membentuk forum pembatik sebagai ruang belajar dan promosi. Menurut Intan Mestikaningrum, Kepala Bidang Perdagangan Dalam Negeri Disperindag DIY, langkah ini penting untuk memperkuat daya saing industri kecil dan menengah di tengah gempuran pasar modern.

Dalam dunia yang semakin cepat dan instan, Giriloyo tetap memilih jalur lambat namun penuh makna. Bagi Imaroh dan para pembatik lainnya, membatik adalah wujud cinta pada tradisi, keterampilan yang diwariskan lintas generasi, dan perlawanan halus terhadap arus industri massal. Canting yang mereka genggam bukan sekadar alat, melainkan simbol perlawanan, dedikasi, dan ketulusan dalam menjaga identitas bangsa.