Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) menyampaikan keprihatinan atas pembatalan sepihak Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) terhadap benang filament impor asal Tiongkok. Ketua APSyFI, Redma Gita Wirawasta, telah mengirimkan surat resmi kepada Menteri Perdagangan Budi Santoso sebagai permintaan audiensi untuk membahas dampak kebijakan tersebut terhadap kelangsungan industri benang filamen dalam negeri.
Dalam keterangannya, Redma berharap audiensi ini dapat membuka ruang dialog dan menghindari potensi kegaduhan di sektor industri. Ia menekankan pentingnya mencari jalan tengah yang adil agar semua pihak, baik pelaku usaha maupun pemangku kebijakan, dapat mencapai solusi yang berkelanjutan.
Redma juga menyampaikan bahwa keputusan Mendag yang bertentangan dengan rekomendasi Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) tidak sejalan dengan Undang-Undang Perdagangan Nomor 7 Tahun 2014, khususnya Pasal 70 ayat 1. Pasal ini menegaskan kewajiban pemerintah untuk menerapkan tindakan antidumping apabila terjadi impor dengan harga di bawah nilai normal yang menyebabkan kerugian bagi industri dalam negeri.
APSyFI menilai bahwa kapasitas industri nasional saat ini sangat mencukupi untuk memenuhi kebutuhan domestik, baik untuk produk POY (Partially Oriented Yarn) maupun DTY (Draw Textured Yarn). Untuk POY, sembilan perusahaan anggota APSyFI memiliki kapasitas produksi sebesar 430.000 ton per tahun, dengan 130.000 ton dialokasikan untuk pasar domestik. Namun, impor POY pada 2024 tetap mencapai 125.000 ton.
Hal serupa terjadi pada DTY, dengan kapasitas nasional sebesar 400.000 ton dari anggota APSyFI dan API. Setelah dikurangi konsumsi internal, pasokan domestik mencapai 270.000 ton, namun impor DTY tetap tercatat 120.000 ton pada tahun yang sama. Redma menegaskan bahwa kemampuan industri lokal dalam memenuhi kebutuhan domestik seharusnya menjadi pertimbangan utama dalam kebijakan perdagangan.
Ia juga menepis argumen bahwa kawasan berikat menjadi penyebab tingginya impor. Menurutnya, hanya dua perusahaan anggota APSyFI yang berada di kawasan berikat, dan keduanya saat ini sedang dibekukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, sehingga alasan tersebut tidak lagi relevan.
Lebih lanjut, Redma menjelaskan bahwa penerapan BMAD tidak berarti melarang impor. Impor tetap dapat dilakukan dengan membayar bea tersebut, dan pelaku usaha masih dapat mengimpor dari negara-negara ASEAN atau anggota RCEP lainnya dengan tarif 0 persen. Oleh karena itu, kekhawatiran industri hilir dianggap tidak berdasar, terlebih sektor tersebut telah memperoleh perlindungan melalui kebijakan safeguard terhadap kain sejak empat tahun lalu melalui PMK No. 48 Tahun 2024.
Redma juga menegaskan bahwa produk Polyester Staple Fiber (PSF) yang saat ini dikenai BMAD tidak terkait langsung dengan benang filament POY-DTY, karena PSF merupakan bahan baku untuk benang pintal, bukan filament. Dengan demikian, ia menilai penting bagi pemerintah untuk mempertimbangkan kembali keputusan pembatalan BMAD agar keberlangsungan industri benang lokal tetap terjaga di tengah persaingan global yang semakin ketat.