Print

Kebijakan tarif baru Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang menetapkan bea masuk sebesar 32% terhadap produk asal Indonesia mulai 1 Agustus 2025 menimbulkan kekhawatiran besar di kalangan pelaku industri tekstil nasional. Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI), Redma Gita Wirawasta, menilai pemerintah harus segera melakukan langkah konkret untuk mengamankan pasar dalam negeri dan mempertahankan daya saing ekspor.

Meskipun upaya negosiasi selama tiga bulan oleh pemerintah Indonesia patut diapresiasi, Redma menekankan pentingnya mitigasi cepat untuk mencegah kerontokan industri manufaktur nasional. Ia menyoroti posisi Vietnam dan Malaysia yang jauh lebih kompetitif dengan tarif hanya 20% dan 25%, sehingga menjadi destinasi menarik bagi para importir AS maupun investor.

Redma memperingatkan bahwa aliran investasi bisa beralih ke negara-negara tersebut, sementara produk asal China yang kemungkinan besar terkena tarif tinggi akan mencari pasar alternatif seperti Indonesia. Akibatnya, Indonesia berisiko menghadapi dua tekanan sekaligus: ekspor yang melemah dan pasar domestik yang dibanjiri barang impor murah.

Pangsa pasar ekspor Indonesia ke AS saat ini sangat bergantung pada sektor tekstil dan alas kaki, masing-masing menyumbang 40,6% dan 34,2% dari total ekspor sektor tersebut. Dengan tarif setinggi 32%, Redma pesimistis Indonesia bisa mempertahankan posisinya, mengingat importir AS cenderung mencari produk dengan harga akhir yang lebih kompetitif dari negara bertarif lebih rendah.

Wakil Menteri Perindustrian Faisol Riza sebelumnya juga menyuarakan keprihatinan atas fenomena lonjakan impor dari China. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan impor produk tekstil dari China ke Indonesia melonjak dari US$309,7 juta pada Januari–April 2024 menjadi US$834 juta di periode yang sama tahun 2025. Hal serupa terjadi pada produk alas kaki yang melonjak dari US$152,36 juta menjadi US$199,4 juta.

Faisol menekankan bahwa pemerintah harus segera mengambil langkah strategis untuk melindungi pasar domestik, sekaligus mengoptimalkan peluang ekspor di pasar global. Tanpa upaya serius dan kebijakan protektif yang tepat sasaran, industri dalam negeri berpotensi.