Print

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Shinta Kamdani, mengungkapkan kekhawatirannya terhadap dampak kebijakan tarif resiprokal yang diberlakukan oleh Amerika Serikat (AS), terutama terhadap sektor Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) seperti sepatu dan furnitur. Menurutnya, sektor ini merupakan salah satu yang paling rentan, apalagi dalam kondisi industri tekstil nasional yang masih dalam tekanan berat.

Shinta menjelaskan bahwa kebijakan tarif tinggi dari AS sebenarnya tidak menjadi masalah besar apabila diterapkan secara adil kepada seluruh negara. Namun, jika negara pesaing seperti Vietnam dikenakan tarif lebih rendah, hal ini bisa menggerus daya saing produk Indonesia di pasar ekspor, khususnya di sektor padat karya.

Sebagai contoh, Vietnam direncanakan hanya dikenakan tarif sebesar 20% oleh AS, jauh lebih rendah dibandingkan Indonesia yang dikenai tarif hingga 32%. Kondisi ini membuka peluang besar bagi Vietnam untuk mengambil alih pasar ekspor Indonesia, khususnya produk sepatu dan tekstil yang sangat bergantung pada ekspor ke pasar AS.

Penurunan ekspor akibat tarif tinggi ini, menurut Shinta, berisiko memicu efek domino berupa pemutusan hubungan kerja (PHK) secara massal di sektor padat karya. Apalagi, pangsa pasar AS terhadap ekspor tekstil Indonesia selama ini cukup besar dan strategis.

Ancaman lain yang tak kalah serius adalah potensi masuknya barang-barang murah dari China ke Indonesia. Negara tersebut juga tengah menghadapi tarif tinggi dari AS, sehingga dikhawatirkan akan membanjiri pasar domestik Indonesia dengan produk murah untuk mengalihkan kelebihan produksi mereka, sebuah praktik yang disebut dumping.

Dampak dari situasi ini tidak hanya menyangkut aspek perdagangan, tetapi juga dapat memicu gejolak ekonomi dalam negeri. Ketergantungan industri Indonesia terhadap bahan baku impor, yang mencapai sekitar 70%, membuat harga produksi rentan terhadap fluktuasi nilai tukar rupiah dan kenaikan biaya impor.

Untuk itu, Shinta menekankan pentingnya dukungan konkret dari pemerintah kepada sektor padat karya. Baik dalam bentuk insentif fiskal, stimulus non-fiskal, maupun langkah strategis untuk menjaga daya saing industri nasional di tengah gejolak global. Dukungan ini dinilai sangat penting agar produk-produk Indonesia tetap mampu bersaing di pasar internasional, terutama di tengah tekanan geopolitik dan kebijakan dagang negara-negara besar seperti AS.