Print

Industri tekstil Indonesia tengah menghadapi tekanan berat akibat turunnya permintaan pasar yang menyebabkan penumpukan stok produksi di gudang. Kondisi ini membuat sejumlah pabrik terpaksa menghentikan produksi sementara, meski tidak sepenuhnya menutup operasionalnya. Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat & Benang Filamen Indonesia (APSyFI), Redma Gita Wirawasta, menyatakan bahwa beberapa anggota asosiasi saat ini dalam kondisi “megap-megap” karena lesunya permintaan.

Menurut Redma, langkah setop produksi dilakukan tanpa melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK), melainkan untuk menghitung ulang stok dan merencanakan produksi ke depan. Ia menekankan bahwa ini bukan tanda bahwa perusahaan akan tutup, melainkan bentuk penyesuaian sementara. Sejauh ini, Redma menyebut belum ada tambahan perusahaan yang tutup sejak PT Asia Pacific Fibers Tbk. (POLY) menghentikan operasional pabrik kimia dan seratnya di Karawang pada 1 November 2024.

Peluang untuk mengatasi tekanan ini sempat muncul lewat kesepakatan perdagangan antara Indonesia dan Amerika Serikat, dengan tarif ekspor ditetapkan sebesar 19%. Meskipun tarif ini masih dinilai memberatkan, Indonesia dinilai tetap memiliki daya saing, terutama di pasar hilir, dibandingkan negara seperti Bangladesh yang dikenakan tarif 35%. Untuk sektor hulu dan antara yang bersaing dengan Korea, tarif tersebut dianggap cukup kompetitif.

Namun demikian, prospek untuk mengandalkan ekspor dalam upaya pemulihan industri masih dinilai berat. Redma mengakui bahwa meski tarif ekspor yang baru memungkinkan industri mempertahankan ekspor, hal itu belum cukup untuk memulihkan kinerja industri secara keseluruhan. Di saat bersamaan, gempuran produk impor diperkirakan akan semakin deras, menambah beban bagi pelaku industri dalam negeri.

Fenomena pabrik yang tetap berdiri meskipun tidak berproduksi ini ibarat “zombie” industri—hidup namun tak sepenuhnya berjalan. Ini menjadi potret nyata betapa beratnya tantangan yang dihadapi sektor tekstil nasional dalam menjaga keberlangsungan bisnis di tengah krisis permintaan dan tekanan global.