Print

Industri tekstil nasional kembali diterpa kabar buruk dengan ditutupnya pabrik PT Asia Pacific Fibers Tbk (POLY) di Karawang, Jawa Barat, secara permanen. Perusahaan yang dikenal sebagai salah satu produsen kimia dan serat poliester terbesar di Indonesia ini resmi menghentikan seluruh operasionalnya akibat tekanan berat yang dihadapi dalam beberapa tahun terakhir.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI), Farhan Aqil, mengungkapkan bahwa penutupan ini tidak lepas dari derasnya serbuan produk impor murah yang membanjiri pasar domestik. Impor benang dalam jumlah besar membuat serat poliester produksi dalam negeri, termasuk milik POLY, tidak mampu terserap oleh pasar. “Pabrik di Karawang memproduksi serat poliester yang kemudian diproses menjadi benang. Namun karena impor benang sangat tinggi, POLY kesulitan mendistribusikan produknya,” ujar Farhan.

Fenomena ini bukanlah hal yang mengejutkan. Data APSyFI mencatat sejak 2022 hingga 2024 setidaknya 60 perusahaan di sektor benang dan kain gulung tikar akibat serbuan produk impor murah, mayoritas berasal dari Cina, India, dan Vietnam. Farhan menilai kebijakan pemerintah yang terlalu fokus pada sektor hilir seperti garmen dan konveksi, demi alasan penyerapan tenaga kerja, justru mengorbankan sektor hulu yang menjadi fondasi industri tekstil nasional.

“Ekosistem tekstil kita sudah terintegrasi dari hulu ke hilir. Tapi jika sektor hulu dibiarkan terpuruk, maka seluruh rantai akan terganggu. Garmen mungkin tumbuh, tapi bahan bakunya akan semakin bergantung pada impor. Itu berbahaya,” tegas Farhan.

Selain tekanan dari produk impor, POLY juga terbebani utang lama yang terus membengkak. Upaya perusahaan untuk menyelesaikan kewajiban justru dihadapkan pada tuntutan pembayaran penuh yang dinilai tidak sesuai dengan kondisi riil keuangan mereka.

Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Mohammad Faisal, turut menyayangkan lemahnya kebijakan yang mendukung sektor hulu. Menurutnya, kebijakan yang tidak terintegrasi telah melemahkan struktur industri tekstil nasional. Salah satu contohnya adalah tidak diperpanjangnya Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) terhadap serat impor yang justru merugikan produsen dalam negeri.

Faisal juga menekankan perlunya insentif seperti energi murah dan pembiayaan khusus untuk pelaku sektor hulu. “Industri hilir memang banyak menyerap tenaga kerja, tetapi unit usahanya relatif kecil. Jika sektor hulu mati, maka penciptaan lapangan kerja tetap akan berkurang, dan ekosistem industri dalam negeri akan semakin sempit. Pada akhirnya, pasar kita akan semakin dikuasai produk impor,” jelasnya.

Penutupan pabrik POLY menjadi sinyal keras bahwa industri tekstil Indonesia sedang berada di titik kritis. Tanpa kebijakan yang melindungi dan mendukung sektor hulu, bukan tidak mungkin ekosistem industri nasional akan semakin tergerus, dengan ketergantungan penuh pada produk impor di masa mendatang.