Print

Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) di Indonesia sedang menghadapi tekanan berat. Tidak hanya berdampak pada pekerja pabrik, badai pemutusan hubungan kerja (PHK) kini juga menyasar kalangan profesional manajemen. Banyak dari mereka memilih hengkang ke luar negeri, mencari peluang baru demi menyelamatkan karier mereka di tengah kemerosotan industri dalam negeri.

Ketua Bidang Teknologi Industri Tekstil Ikatan Ahli Tekstil Seluruh Indonesia (IKATSI), Cecep Daryus, mengungkapkan bahwa para profesional tekstil di level manajerial juga terdampak oleh gejolak ini. Meskipun tidak separah buruh pabrik, efek domino PHK tetap terasa hingga ke jajaran atas perusahaan.

Menariknya, kondisi ini justru melahirkan tren migrasi profesional ke luar negeri, khususnya ke negara-negara tetangga seperti Vietnam, Kamboja, dan Malaysia. Negara-negara tersebut sedang mengalami lonjakan investasi di sektor tekstil, sehingga kebutuhan akan tenaga kerja berpengalaman—terutama di posisi manajerial—terus meningkat. Indonesia menjadi salah satu sumber utama penyedia talenta tersebut.

Fenomena ini menjadi indikator bahwa ekosistem industri tekstil di negara lain tengah berkembang pesat, sementara di Indonesia justru stagnan, bahkan menurun. Sementara Indonesia kehilangan talenta, negara tetangga mendapatkan manfaat dari limpahan profesional berkualitas.

Direktur Eksekutif Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) Rayon Tekstil, Agus Riyanto, menyoroti ketimpangan antara narasi optimisme pemerintah dan realita di lapangan. Ia menyebut bahwa dampak dari penutupan lebih dari 60 perusahaan TPT di Indonesia bukan sekadar soal kehilangan lapangan kerja, tetapi juga mandeknya investasi yang diperkirakan mencapai lebih dari Rp80 triliun.

Agus juga mengkritik penggunaan data Sistem Informasi Industri Nasional (SIINAS) yang menurutnya tidak mencerminkan kondisi riil. Banyak perusahaan yang sudah berhenti beroperasi masih tercatat aktif karena tidak memperbarui data, sementara aset seperti mesin masih tercatat sebagai indikator investasi yang ‘hidup’.

Dari sisi perdagangan, kondisi ekspor tekstil Indonesia juga mengalami penurunan signifikan. Surplus perdagangan yang sebelumnya mencapai US$ 4,2 miliar pada tahun 2015, kini menyusut menjadi hanya US$ 2,4 miliar pada 2024. Bahkan sejak tahun 2016, secara volume perdagangan, Indonesia mengalami defisit hingga 57 ribu ton.

Situasi ini menjadi tamparan bagi pemerintah, khususnya Kementerian Perindustrian (Kemenperin), yang bertanggung jawab menjaga keberlangsungan sektor strategis seperti TPT. Sebagai sektor padat karya, TPT seharusnya menjadi pilar utama dalam meningkatkan daya beli masyarakat dan menjaga roda ekonomi nasional tetap berputar.

Namun kenyataannya, sinyal-sinyal krisis diabaikan. Jika tidak segera ditangani secara serius, eksodus profesional tekstil hanyalah permulaan dari keruntuhan yang lebih besar di industri ini.