Print

Masuknya investasi sebesar Rp 10,2 triliun ke sektor tekstil dan produk tekstil (TPT) pada 2024 menjadi angin segar yang patut disyukuri, namun belum mampu mengubah kondisi lesu industri ini secara menyeluruh. Di balik angka investasi yang meningkat drastis dibandingkan tahun sebelumnya, realitas di lapangan menunjukkan industri masih dibayangi ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) dan penutupan pabrik.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI), Farhan Aqil Syauqi, mengungkapkan bahwa tren PHK masih berlanjut pada tahun 2025. Meskipun intensitasnya tidak sebesar tahun-tahun sebelumnya, hal ini terjadi karena sebagian besar perusahaan tekstil sudah lebih dulu tumbang pada 2023 dan 2024. Menurutnya, investasi yang masuk belum cukup untuk menggantikan hilangnya kapasitas produksi dan lapangan kerja akibat banyaknya pabrik yang menghentikan operasional.

Data dari Kementerian Perindustrian menunjukkan bahwa nilai investasi industri pakaian meningkat signifikan, dari Rp 4,53 triliun pada 2023 menjadi Rp 10,2 triliun pada 2024. Namun, angka ini kontras dengan laporan Kementerian Ketenagakerjaan yang mencatat sebanyak 42.385 pekerja di sektor ini terkena PHK hanya dalam enam bulan pertama tahun 2025. Salah satu perusahaan besar yang menutup usahanya adalah PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex), yang selama ini dikenal sebagai salah satu produsen tekstil terbesar di Indonesia.

Farhan menekankan bahwa untuk mendorong pemulihan industri TPT secara nasional, dibutuhkan investasi yang lebih besar dan terintegrasi. Penguatan struktur industri menjadi penting, terutama di tengah dinamika perdagangan global serta kesepakatan dagang seperti IEU-CEPA dan tarif resiprokal dengan Amerika Serikat yang tengah difinalisasi. Menurutnya, meskipun ada investasi baru, jumlah investasi yang tidak lagi aktif karena pabrik tutup atau berhenti sementara jauh lebih besar, sehingga secara keseluruhan pertumbuhan investasi menjadi negatif dan utilisasi nasional pun terus menurun.

Kondisi ini turut dibenarkan oleh Ikatan Pengusaha Konveksi Berkarya (IPKB). Ketua Umum IPKB, Nandi Herdiaman, menyatakan bahwa utilisasi industri garmen skala kecil dan menengah yang berfokus pada pasar domestik masih di bawah 50 persen. Ia menyebut salah satu penyebabnya adalah banjir produk impor yang menguasai pasar dalam negeri, baik di toko-toko offline maupun platform online.

Menariknya, jumlah pelaku usaha konveksi memang meningkat dalam dua tahun terakhir. Namun, peningkatan ini bukan karena pertumbuhan alami industri, melainkan akibat banyaknya pekerja yang terkena PHK dan beralih menjadi pengusaha konveksi kecil. Sayangnya, usaha-usaha baru ini pun belum menunjukkan hasil yang menggembirakan. Permintaan masih rendah dan pesanan minim, sehingga kondisi mereka tetap rentan.

Situasi ini menunjukkan bahwa meskipun ada optimisme dari masuknya investasi baru, perbaikan sektor tekstil Indonesia masih membutuhkan strategi komprehensif. Tanpa penguatan industri dari hulu ke hilir serta perlindungan terhadap pasar domestik, ancaman PHK dan penutupan pabrik masih akan menjadi bayang-bayang yang sulit dihindari.