Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menyoroti anomali di industri tekstil hulu yang berada di bawah naungan Asosiasi Produsen Benang Serat dan Filamen Indonesia (APSyFI). Di satu sisi, asosiasi ini kerap mendesak pemerintah agar memperketat impor, namun di sisi lain sejumlah anggotanya justru tercatat sebagai importir besar.
Catatan Sistem Informasi Industri Nasional (SIINas) menunjukkan hanya 15 dari 20 perusahaan anggota APSyFI yang melaporkan aktivitas industrinya. Lima perusahaan lainnya tidak melaporkan kinerja sama sekali, sehingga dinilai mengurangi transparansi sekaligus melemahkan posisi asosiasi.
Ironisnya, impor benang dan kain oleh anggota APSyFI justru melonjak tajam sebesar 239% dalam setahun, dari 14,07 juta kilogram pada 2024 menjadi 47,88 juta kilogram di 2025. Menurut Kemenperin, beberapa perusahaan bahkan memanfaatkan fasilitas kawasan berikat maupun Angka Pengenal Importir (API) Umum untuk bebas melakukan impor dalam jumlah besar.
“Di satu sisi, mereka menuntut proteksi. Namun di sisi lain aktif menjadi importir. Ini jelas kontradiktif dengan semangat kemandirian industri,” tegas Juru Bicara Kemenperin, Febri Hendri Antoni Arief, Minggu (24/8).
Padahal, pemerintah telah memberikan berbagai bentuk perlindungan bagi industri hulu tekstil, mulai dari Bea Masuk Anti-Dumping (BMAD) Polyester Staple Fiber yang berlaku hingga 2027, BMAD Spin Drawn Yarn hingga 2025, hingga Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP) untuk benang serat sintetis dan kain yang berlaku sampai 2026–2027. Namun proteksi tersebut dinilai belum diimbangi dengan investasi baru maupun modernisasi teknologi dari pihak industri.
Kemenperin menegaskan bahwa kebijakan proteksi maupun impor selalu dirancang berdasarkan prinsip keadilan, agar sektor hulu, intermediate, dan hilir mendapat ruang tumbuh. Usulan penerapan BMAD 45% misalnya, dinilai berisiko memicu pemutusan hubungan kerja hingga 40.000 pekerja di industri hilir, sementara potensi PHK di hulu masih dapat dimitigasi dengan peningkatan serapan lokal.
Meski demikian, sektor tekstil masih mencatat kinerja positif dengan pertumbuhan di atas 4% pada kuartal I dan II 2025. Momentum ini, menurut Kemenperin, harus dijaga dengan kolaborasi dan kepatuhan, bukan narasi yang membingungkan publik.
“Kemenperin berharap asosiasi dapat melihat kebijakan pemerintah secara objektif. Yang dibutuhkan sekarang adalah sinergi dan komitmen bersama, bukan kontradiksi yang justru merugikan industri,” pungkas Febri.