Print

Penetapan kenaikan upah buruh dinilai perlu berlandaskan formula yang jelas sesuai mekanisme serta keputusan Mahkamah Konstitusi (MK). Kepastian dasar perhitungan ini, menurut Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), sangat penting untuk menjaga iklim usaha sekaligus mempertimbangkan daya tahan tiap sektor industri.

Wakil Ketua Apindo, Sanny Iskandar, menegaskan bahwa penetapan kenaikan upah harus mengacu pada mekanisme dan formula yang sudah diatur. Dasar perhitungan yang jelas dianggap penting untuk menjamin kepastian usaha sekaligus menyesuaikan dengan kondisi berbeda di setiap sektor. Formula tersebut, menurutnya, perlu memasukkan indikator utama seperti inflasi dan pertumbuhan ekonomi agar kenaikan gaji pekerja lebih terukur dan tidak menekan daya tahan industri.

Di sisi lain, buruh menuntut kenaikan upah sebesar 8,5 persen pada 2026. Mereka juga meminta pemerintah mencegah pemutusan hubungan kerja (PHK) melalui pembentukan Satgas, melakukan reformasi pajak perburuhan, hingga menghapus pajak pesangon, THR, dan JHT. Tuntutan lain yang disuarakan massa buruh adalah pengesahan RUU Ketenagakerjaan tanpa Omnibus Law, pengesahan RUU Perampasan Aset, serta revisi undang-undang pemilu sesuai putusan MK.

Sanny menekankan bahwa tidak semua sektor usaha dapat disamaratakan dalam hal kenaikan upah. Ada sektor yang masih stabil seperti farmasi, makanan dan minuman, serta industri yang terkait keberlanjutan dan digitalisasi. Namun, sektor tekstil dan produk tekstil (TPT) serta alas kaki menghadapi tekanan berat karena kompetisi global yang ketat, padahal sektor ini menjadi salah satu penyerap tenaga kerja terbesar di Indonesia.

Kondisi sulit industri tekstil juga digambarkan oleh Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI), Farhan Aqil Sauqi. Menurutnya, banyak pabrik hanya bertahan untuk menutupi kebutuhan modal kerja harian, bahkan sejumlah lini produksi, termasuk polimerisasi untuk polyester, telah berhenti beroperasi karena utilisasi rendah. Situasi ini tidak hanya dialami usaha kecil, tetapi juga perusahaan besar.

Belum pulih dari tekanan, industri tekstil kini semakin terjepit akibat membanjirnya produk impor murah. Di tengah kondisi tersebut, kebijakan kenaikan upah menambah tantangan bagi kelangsungan usaha. Farhan menegaskan bahwa meskipun industri mendukung peningkatan kesejahteraan pekerja, keputusan kenaikan upah seharusnya mempertimbangkan kondisi riil. Bagi sebagian pekerja, keberlangsungan pabrik lebih penting daripada kenaikan gaji semata, karena jika pabrik tutup, sumber penghasilan pun hilang.

APSyFI mendorong pemerintah lebih fokus pada penciptaan lapangan kerja baru dengan mengaktifkan kembali pabrik-pabrik yang berhenti berproduksi. Langkah ini diyakini tidak hanya menjaga penyerapan tenaga kerja, tetapi juga memperkuat rantai pasok industri tekstil nasional. Selain mendorong investasi asing, pemerintah juga perlu memastikan pertumbuhan investasi dalam negeri agar target penyerapan tenaga kerja bisa tercapai. Tanpa perlindungan pasar dalam negeri dari banjir impor, industri tekstil akan semakin sulit bertahan.

Sebagai salah satu sektor padat karya strategis, industri tekstil selama ini menopang ekspor manufaktur sekaligus penyerapan tenaga kerja nasional. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, sektor ini terus menghadapi tantangan berat, mulai dari fluktuasi harga bahan baku, rendahnya utilisasi produksi, hingga derasnya arus impor produk tekstil dan garmen.