Print

Purchasing Managers Index (PMI) manufaktur Indonesia menunjukkan kinerja positif dengan naik ke level ekspansi 51,5 pada Agustus 2025. Namun, kabar baik ini belum dirasakan secara merata, terutama di sektor tekstil dan produk tekstil (TPT). Industri hulu tekstil masih terjebak dalam kontraksi, dengan tingkat utilisasi rata-rata pabrik di bawah 50%.

Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament (APSyFI), Redma Gita Wirawasta, menyebut bahwa kondisi sulit ini diperparah oleh membanjirnya impor produk tekstil yang kian menekan daya saing industri dalam negeri. Fenomena ini bahkan telah berkontribusi pada terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK) massal hingga 250.000 orang pada periode 2023–2024.

Salah satu sorotan utama pelaku industri adalah kenaikan kuota impor tekstil hulu yang direkomendasikan Kementerian Perindustrian (Kemenperin). Tren peningkatan kuota ini terlihat jelas dari data Badan Pusat Statistik (BPS). Pada 2016, impor benang dan kain masing-masing tercatat 230.000 ton dan 740.000 ton. Namun, delapan tahun kemudian, angka tersebut melonjak signifikan menjadi 462.000 ton dan 939.000 ton.

Redma menegaskan, para pelaku usaha masih menunggu langkah konkret pemerintah dalam membenahi masalah sektoral, khususnya di kementerian teknis yang dianggap sebagai akar persoalan. Harapan besar pun diarahkan pada Presiden Prabowo Subianto, yang baru-baru ini menegaskan komitmennya untuk memperbaiki kinerja kementerian dan lembaga negara agar roda industri bisa kembali bergerak optimal.

Sekretaris Jenderal APSyFI, Farhan Aqil, turut menambahkan bahwa kontribusi sektor TPT terhadap produk domestik bruto (PDB) terus mengalami penurunan dalam beberapa tahun terakhir. Jika pada 2016 kontribusinya mencapai 1,16%, maka pada 2024 angka itu menyusut menjadi 0,99%. Dari sisi neraca dagang, sektor ini juga mengalami pelemahan. Nilai ekspor yang pada 2016 mencapai US$3,6 miliar turun menjadi hanya US$2,4 miliar pada 2024.

Lebih mengkhawatirkan lagi, volume perdagangan TPT Indonesia tercatat minus 57.000 sejak 2017, dengan defisit yang semakin melebar akibat laju pertumbuhan impor yang lebih tinggi dibandingkan ekspor. Kondisi ini menempatkan industri tekstil hulu pada posisi yang semakin sulit, sehingga langkah strategis pemerintah untuk menata kembali regulasi impor dan memperkuat daya saing industri nasional menjadi sangat mendesak.