Pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pertekstilan dinilai sebagai momentum penting untuk membenahi sektor sandang Indonesia secara menyeluruh, mulai dari hulu hingga hilir. Regulasi ini diharapkan mampu menjawab berbagai persoalan mendasar, seperti ketergantungan impor bahan baku, mesin produksi yang sudah tua, tingginya biaya energi dan logistik, hingga perlindungan pasar domestik.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia, Farhan Aqil Sauqi, menegaskan bahwa sandang sebagai salah satu kebutuhan pokok masyarakat selama ini belum memiliki payung hukum yang komprehensif. Jika pangan sudah memiliki UU Ketahanan Pangan dan papan diatur dalam UU Perumahan Rakyat, maka sandang baru tercakup secara umum dalam UU Perindustrian. Menurutnya, kehadiran UU Pertekstilan akan memberikan perlindungan bagi konsumen sekaligus industri dalam negeri.
RUU ini juga diharapkan dapat memperkuat integrasi industri tekstil dalam negeri. Dengan pemanfaatan bahan baku lokal, produk tekstil nasional dapat terserap lebih optimal di pasar domestik. Hal ini sekaligus menjaga jutaan lapangan kerja yang bergantung pada industri tekstil dan produk tekstil (TPT), sektor yang hingga kini masih menjadi salah satu kontributor ekspor nonmigas terbesar.
Namun, tantangan industri tekstil nasional sangat kompleks. Biaya energi dan logistik yang tinggi, keterbatasan pasokan bahan baku seperti mono etilen glikol (MEG), serta serbuan produk impor murah membuat daya saing semakin tergerus. Sementara itu, mesin produksi yang rata-rata berusia tua membuat efisiensi dan kualitas sulit menyaingi negara pesaing seperti China dan India.
Ekonom Ichsanuddin Noorsy menekankan bahwa RUU Pertekstilan harus diarahkan sebagai pijakan reindustrialisasi tekstil nasional. Ia mengusulkan lima langkah afirmatif, yaitu penataan sumber daya, penguasaan pasar domestik dengan pembatasan impor, penegakan hukum, pendidikan vokasi untuk memperkuat SDM, serta digitalisasi proses produksi dan distribusi.
Menurutnya, industri tekstil Indonesia hanya akan bangkit jika konektivitas antara hulu, antara, hingga hilir dapat terjalin. Tanpa itu, Indonesia hanya akan menjadi pasar bagi produk luar negeri.
RUU Pertekstilan pun dipandang sebagai momentum emas untuk mengembalikan kejayaan industri TPT. Selain memberikan kepastian hukum bagi sandang sebagai kebutuhan pokok, regulasi ini diharapkan mampu memperkuat daya saing industri domestik, menjaga keberlanjutan lapangan kerja, sekaligus mengurangi ketergantungan pada impor.