Majelis Rayon Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) Tekstil menuding adanya sindikat besar di balik maraknya impor pakaian bekas ilegal. Direktur Eksekutif KAHMI Tekstil, Agus Riyanto, menegaskan pemerintah tidak boleh berhenti hanya pada penyitaan barang, tetapi harus mengusut tuntas aktor intelektual yang mengendalikan jaringan impor tersebut.
Pernyataan ini merespons temuan 19.391 ballpress atau pakaian bekas senilai lebih dari Rp112,3 miliar di 11 gudang penyimpanan di Jawa Barat. Barang-barang tersebut berasal dari Korea Selatan, Jepang, dan Cina sebelum akhirnya disita Kementerian Perdagangan. Agus mengingatkan, masuknya pakaian bekas dengan harga jauh lebih murah berpotensi menghantam daya saing industri tekstil nasional yang tengah tertekan akibat penurunan permintaan dan ancaman PHK massal.
Ia menyoroti kejanggalan bagaimana impor pakaian bekas bisa lolos dalam jumlah sangat besar, padahal barang tersebut dilarang masuk ke Indonesia. Larangan itu tertuang dalam Pasal 8 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Pasal 47 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan, serta Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 40 Tahun 2022.
Data International Trade Center (ITC) Trademap menunjukkan impor pakaian bekas dengan kode HS 630900 pada 2024 mencapai US$1,5 juta. Sementara pada kuartal II/2025, nilainya sudah menembus US$1 juta. Menurut Agus, angka tersebut mencerminkan betapa masifnya praktik impor ilegal ini.
KAHMI Tekstil mendorong pemerintah dan aparat penegak hukum untuk menindak perusahaan dan pihak-pihak yang terlibat dalam jaringan distribusi nasional. Agus juga meminta penguatan pengawasan di pelabuhan, perbatasan, dan jalur distribusi darat agar praktik serupa tidak terulang.
Selain itu, ia mendesak Kementerian Perdagangan segera mengumumkan hasil penyidikan aparat penegak hukum terkait penyitaan pada 14–15 Agustus 2025. Agus menekankan, langkah penyitaan tidak boleh sekadar menjadi pencitraan atau “lullaby acting” untuk meredam keresahan pelaku industri tekstil dalam negeri.