Pada akhir Agustus hingga awal September lalu, sejumlah desainer fesyen dan perwakilan industri tekstil Indonesia menghadiri BRICS+ Fashion Summit dan Moscow Fashion Week di Moskwa, Rusia. Dari dua forum internasional tersebut, mereka membawa pulang optimisme untuk memperluas pasar tekstil Indonesia. Namun, agar mimpi itu terwujud, dukungan kuat dari pemerintah menjadi kunci utama.
BRICS saat ini beranggotakan 11 negara, yakni Brasil, Rusia, India, China, Afrika Selatan, Arab Saudi, Mesir, Uni Emirat Arab, Etiopia, Indonesia, dan Iran. BRICS+ Fashion Summit sendiri mempertemukan perwakilan dari sekitar 100 negara untuk mempromosikan pasar mode yang sedang berkembang. Dari forum itu, muncul keyakinan bahwa BRICS memiliki potensi besar karena pasar yang mencakup hampir 60 persen populasi dunia.
Wakil Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia Jawa Tengah, Liliek Setiawan, yang turut hadir dalam acara tersebut menilai bahwa Rusia adalah salah satu negara yang potensial untuk dijajaki. Selama ini, impor terbesar Rusia untuk produk manufaktur adalah pakaian dan alas kaki. Dengan kondisi empat musim, masyarakat Rusia membutuhkan beragam produk sandang, terutama sepatu, yang sesuai dengan perubahan cuaca. Sayangnya, peluang ini belum banyak dimanfaatkan oleh industri tekstil Indonesia.
Lebih jauh, Liliek menekankan pentingnya pengembangan produk tekstil berbahan baku berkelanjutan atau sustainable material. Konsumen kelas menengah-atas di Rusia sangat menghargai produk berbasis serat alam, berbeda dengan konsumen Indonesia yang masih kurang peduli pada aspek tersebut. Padahal, Indonesia memiliki potensi besar dengan beragam tanaman yang bisa diolah menjadi serat, mulai dari bambu, pisang, hingga nanas. Sayangnya, pengembangannya masih terbatas karena berbagai tantangan, mulai dari harga tinggi pada tahap awal hingga minimnya perhatian konsumen dalam negeri.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pasar ekspor pakaian jadi dari Indonesia selama ini masih didominasi Amerika Serikat dengan nilai ekspor 3,89 miliar dollar AS pada 2024, atau sekitar 54,9 persen dari total ekspor. Selain AS, tujuan utama lainnya adalah Jepang, Jerman, Korea Selatan, dan Inggris. Rusia belum masuk dalam daftar 10 besar tujuan ekspor, sehingga peluang ekspansi masih sangat terbuka.
Namun, tantangan terbesar ada pada kondisi industri tekstil nasional yang saat ini cenderung defensif akibat serbuan produk impor. Ketua Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Surakarta, Lukman Hakim, menegaskan bahwa industri tekstil Indonesia sulit melakukan ekspansi tanpa dukungan pemerintah. Ia membandingkan dengan China dan India yang mampu melakukan penetrasi pasar secara agresif berkat koordinasi dan dukungan kuat dari negara.
Lukman bahkan mengusulkan agar pemerintah membentuk kementerian khusus yang menangani sektor sandang, mengingat pangan dan papan sudah memiliki lembaga yang mengurus secara khusus. Menurutnya, tanpa perhatian serius terhadap ketahanan sandang, industri tekstil dalam negeri akan semakin rentan.
Dengan peluang besar yang ditawarkan pasar global, terutama di negara-negara BRICS, Indonesia seharusnya bisa menjadi pemain penting dalam industri tekstil dunia. Namun, hal itu hanya bisa terwujud jika ada sinergi nyata antara pelaku usaha dan pemerintah untuk memperkuat daya saing serta mendorong ekspansi ke pasar baru.