Kalangan pertekstilan nasional menyambut positif peryataan Menteri Purbaya terkait pemberantasan penyelundupan dan barang-barang illegal. Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonssia (APSyFI), Redma Gita Wirawata menyatakan bahwa agenda ini telah menjadi usulan yang di dorong seluruh kalangan pertekstilan nasional dalam 3 tahun terakhir.
Menurut Redma, kalangan produsen tekstil nasional telah muak dengan praktik importasi illegal dan hampir putus asa karena usulannya selalu kandas terutama karena dugaan keterlibatan oknum pejabat ASN hingga oknum aparat serta politisi didalamnya. “Pernyataan menkeu kemarin membawa harapan baru bagi kami bahwa pemerintah secara bertahap mulai melakukan perbaikan khususnya dalam agenda birokrasi bersih, terlebih sebelumnya Presiden telah mengangkat DirJen Bea Cukai dari kalangan militer” ungkap Redma.
Harapan baru industry TPT nasional ini didasarkan pada data tradmap.org bahwa setiap tahunnya sekitar USD 1,5-2 milyar importasi TPT dari China tidak tercatat di Bea Cukai, dimana jumlah ini setara dengan 28.000 kontainer barang impor illegal. “Dengan pernyataan menkeu kemarin setidaknya 1 masalah ada titik cerah untuk diatasi, tinggal kami menyelesaikan permasalahan lain yaitu tingginya kuota impor” ungkap Redma. “Saat ini kami tengah intens berkomunikasi dengan Kementerian Perindustrian terkait dengan perhitungan supply-demand, agar kedepan besaran kuota yang diterbitkan tidak mematikan produsen lokal” tegasnya.
Namun pernyataan Redma ini justru disesalkan oleh Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI). Direktur Eksekutif KAHMI, Agus Riyanto mengatakan pihaknya sangat pesimis jika Kemenperin mau menurunkan kuota impor karena tuntutan dari mafia kuota impor justru akan meminta kuota yang lebih besar. “Dan Kemenperin pasti akan mengikuti permintaan mereka karena beberapa oknum pejabat kemenperin terlibat aktif dalam jaringan mafia ini” ujar Agus.
Agus justru meminta aparat penegak hukum untuk turun melakukan penyelidikan karena praktik ini telah terjadi lebih dari 5 tahun. Pihaknya juga menyayangkan sikap menteri perindustrian yang seakan tidak peduli dengan kondisi ini. “Kalau Pa Menteri tidak tahu siapa saja pemainnya, artinya Pa Menteri tidak berkompeten memimpin kementerian” ujar Agus. “Aneh jika menteri tidak tahu pejabat dibawahnya yang berwenang menerbitkan Pertek? “ tegasnya.
Kemudian Agus menjelaskan bahwa oknum pejabat ini selalu beralasan jika kuota impor diberikan karena produsen dalam negeri tidak mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri. “Disini seharusnya Pa Menteri membuka mata dan telinga lebih lebar, tutupnya puluhan perusahaan yang mem-PHK ratusan ribu karyawan justru diakibatkan oleh tingginya kuota impor dari Kemenperin kepada rekanan perusahaan para oknum pejabat ini” terang Agus. “Diantara yang ter-PHK itu adalah profesional tekstil anggota KAHMI” tambahnya.
Namun Agus setuju jika saat ini upaya perbaikan secara bertahap telah dilakukan oleh Presiden Prabowo dimana birokrasi bersih jadi agenda utama termasuk dengan pergantian DirJend Bea Cukai yang disusul Menteri Keuangan. “Jadi kita harus bantu Presiden membersihkan kotoran-kotoran birokrasi ini, kalau menterinya tidak mau ikut membereskan, sekalian saja dibersihkan juga” katanya. “Kami sangat kesal ketika saudara-saudara kami terkena PHK karena ulah kotoran birokrasi ini” pungkasnya.
Sebelumnya, keresahan yang sama diungkapkan oleh Ikatan Keluarga Alumni Institut Teknologi Tekstil-Sekolah Tinggi Teknologi Tekstil (IKA Tekstil) dan Ikatan Pengusaha Konveksi Berkarya (IPKB) terkait tingginya barang impor yang menyebabkan anggotanya ter-PHK dan gulung tikar. Bahkan IPKB meminta secara tegas kuota impor untuk pakaian jadi tidak melebihi 50 ribu ton pertahun mengingat kapasitas produksi garment nasional sudah mencapai 2,8 juta ton. IPKB juga meminta Kementerian Perindustrian transparan dalam menghitung supply-demand dan perusahaan-perusahaan yang mendapatkan kuota impor.