Kementerian Perindustrian (Kemenperin) terus mendorong penguatan industri kecil dan menengah (IKM) dengan memfasilitasi sertifikasi halal melalui kerja sama Pusat Industri Halal dengan Lembaga Pemeriksa Halal (LPH). Inisiatif ini menjadi bagian dari rangkaian kegiatan Halal Indo 2025 yang bertujuan memperkuat ekosistem industri halal nasional, mendukung kewajiban sertifikasi halal, serta meningkatkan daya saing pelaku usaha.
Program fasilitasi yang diberikan mencakup pembiayaan sertifikasi halal bagi produk industri kecil dengan skema reguler—seperti makanan, minuman, keramik, kosmetik, batik, kulit, serta tekstil dan produk tekstil—serta skema self declare khusus makanan dan minuman. Selain itu, pelaku IKM juga mendapat pendampingan selama proses sertifikasi halal dan pelatihan penyelia halal.
Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita menegaskan, fasilitasi ini tetap membutuhkan persyaratan tertentu, di antaranya pelaku usaha harus memiliki Nomor Induk Berusaha (NIB) berbasis risiko dengan KBLI sesuai bidang usahanya, tidak sedang mengajukan sertifikasi halal di instansi lain, serta memiliki komitmen penuh mengikuti proses. Diutamakan pula pelaku usaha yang berada di sentra IKM atau Kawasan Industri Halal.
Dalam kesempatan yang sama, Kemenperin juga menggelar Forum Konsultasi Publik Standar Pelayanan 2025 sebagai wadah dialog antara pemerintah, pelaku industri, dan masyarakat. Forum ini menghadirkan berbagai layanan langsung, seperti Klinik Kekayaan Intelektual, Klinik Kemasan, layanan sertifikasi SNI, hingga layanan TKDN. Menurut Menperin, kedua langkah ini mencerminkan komitmen Kemenperin untuk menghadirkan pelayanan publik yang adaptif, inklusif, dan mendukung daya saing industri nasional di kancah global.
Meski demikian, tantangan besar masih dihadapi IKM untuk menerapkan sertifikasi halal. Direktur Jenderal Industri Kecil, Menengah, dan Aneka (IKMA) Reni Yanita menuturkan, biaya sertifikasi dan keterbatasan infrastruktur menjadi kendala utama. Salah satunya terkait kebutuhan penyelia halal yang harus memiliki kompetensi dan sertifikasi dari Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP). Bagi sebagian besar IKM, hal ini cukup memberatkan karena selama ini fokus utama mereka masih pada proses produksi.
Reni juga menekankan pentingnya literasi sertifikasi halal, termasuk pemahaman soal higienitas dan logistik halal agar produk tetap terjamin sampai ke tangan konsumen. Menurutnya, kewajiban sertifikasi halal akan semakin luas pada 2026, mencakup makanan, minuman, tekstil, sandang, hingga alas kaki, sementara pada 2027 mulai berlaku bagi sektor farmasi herbal. Dengan jumlah IKM pangan mencapai 1,7 juta unit, namun baru sekitar 3 ribu yang terdaftar di SIINAS, tantangan besar dalam akselerasi sertifikasi halal masih terbuka lebar.