Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) Indonesia tengah menghadapi masa sulit akibat derasnya arus impor yang tak terkendali. Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) bersama Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian menggelar diskusi untuk mencari langkah penyelamatan sektor ini yang semakin tertekan oleh membanjirnya produk asing, baik melalui jalur legal maupun ilegal.
Sekretaris Jenderal APSyFI, Farhan Aqil Syauqi, mengungkapkan bahwa pertumbuhan impor produk tekstil saat ini jauh lebih cepat dibandingkan ekspor. Kondisi tersebut membuat neraca perdagangan TPT anjlok tajam dari sekitar US$ 6 miliar menjadi hanya US$ 2,4 miliar pada tahun 2024. Menurutnya, banyak fasilitas impor bahan baku seperti KITE, PLB, KB, dan GB disalahgunakan untuk memasukkan barang jadi, sehingga pasar domestik dibanjiri produk murah dari Tiongkok.
Selain penyalahgunaan fasilitas impor, perjanjian perdagangan bebas seperti ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA) juga disebut menjadi faktor yang memperburuk kondisi. Produk asal China masuk dengan harga jauh lebih murah, menekan daya saing produk dalam negeri, dan mengakibatkan dominasi produk impor di pasar lokal. Ironisnya, peningkatan impor tidak diiringi dengan pertumbuhan ekspor maupun investasi baru di sektor TPT.
Padahal, industri tekstil memiliki peran vital dalam perekonomian nasional. Sektor ini menyerap sekitar 3,7 juta tenaga kerja langsung, dengan nilai pasar domestik mencapai US$ 17 miliar dan perputaran bisnis hingga US$ 35 miliar. Indonesia bahkan menempati posisi kelima dunia dalam kapasitas produksi polyester dan peringkat kedua untuk rayon, menandakan potensi besar yang seharusnya mampu menjadi tulang punggung industri manufaktur nasional.
Farhan menegaskan, jika kebijakan impor tetap longgar sementara industri hulu terus melemah, maka masa depan industri tekstil nasional akan terancam hilang. Karena itu, APSyFI menyusun strategi penguatan integrasi industri TPT dengan tiga arah kebijakan utama: penguatan regulasi perdagangan, peningkatan daya saing industri, dan kebijakan jangka menengah menuju kemandirian bahan baku.
Dalam penguatan regulasi perdagangan, APSyFI mendesak agar seluruh produk TPT wajib memiliki izin impor (PI) dari Kementerian Perdagangan yang didasarkan pada pertimbangan teknis dari Kementerian Perindustrian. Evaluasi terhadap kuota impor juga perlu dilakukan untuk mencegah praktik permainan impor oleh pihak tertentu, dengan proses yang lebih transparan. Pengawasan terhadap penerapan SNI, K3L, dan label Bahasa Indonesia pun diusulkan agar kembali dilakukan di border guna memperkuat kontrol terhadap barang masuk.
APSyFI juga meminta pemerintah menegakkan aturan anti dumping, anti subsidi, dan safeguard, serta memberantas impor ilegal. Mereka menolak segala bentuk relaksasi impor yang dapat memperlemah posisi industri lokal.
Untuk memperkuat daya saing, APSyFI mengusulkan penetapan harga gas industri maksimal US$ 6 per MMBTU agar kompetitif dengan negara pesaing seperti India. Selain itu, pihaknya mendorong insentif pajak final bagi produk pakaian jadi serta pembiayaan hijau dengan bunga rendah bagi industri yang menggunakan bahan baku lokal atau hasil daur ulang. Langkah ini diharapkan mampu memperkuat rantai pasok dari hulu hingga hilir.
Dalam jangka menengah, APSyFI menilai kebijakan tingkat komponen dalam negeri (TKDN) dan penerapan SNI wajib di pasar domestik menjadi kunci penting. Dukungan bagi penguatan merek lokal, pemanfaatan platform e-commerce nasional untuk pelaku industri kecil menengah (IKM), serta transformasi hijau dan digital menuju industri 4.0 juga menjadi prioritas. Selain itu, efisiensi logistik nasional melalui peningkatan transportasi kereta dan pelabuhan, serta pengembangan industri petrokimia domestik, dinilai penting untuk menjamin ketersediaan bahan baku strategis.
Dengan strategi yang komprehensif tersebut, APSyFI berharap pemerintah dapat mengambil langkah konkret untuk menata ulang kebijakan impor, memperkuat daya saing industri, dan menciptakan iklim usaha yang kondusif. Asosiasi ini optimistis bahwa 85% pasar domestik dapat dikuasai oleh produk lokal dengan kontribusi terhadap PDB naik dari 1,1% menjadi 2,6%, serta penyerapan tenaga kerja meningkat hingga 5,5% per tahun.
Farhan menutup dengan target ambisius: pertumbuhan industri TPT sebesar 16,5% per tahun hingga 2035, dengan ekspor naik 9,7% per tahun dan impor ditekan hingga turun 26% dalam satu dekade. Menurutnya, masa depan industri tekstil nasional hanya bisa diselamatkan jika pemerintah berani mengambil langkah tegas dan berpihak pada produsen dalam negeri.