Print

Pemerintah melalui Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa resmi menetapkan kebijakan Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP) atas impor produk benang kapas. Kebijakan ini dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 67/2025 yang akan mulai berlaku pada awal November 2025, sebagai langkah strategis untuk melindungi industri tekstil dalam negeri dari tekanan akibat lonjakan impor.

Kebijakan tersebut merupakan hasil tindak lanjut dari penyelidikan Komite Pengamanan Perdagangan Indonesia (KPPI) yang menemukan peningkatan signifikan impor benang kapas dalam beberapa tahun terakhir. Peningkatan ini tidak hanya terjadi secara absolut, tetapi juga relatif terhadap produksi domestik, sehingga menimbulkan kerugian serius bagi industri dalam negeri.

Melalui PMK 67/2025, pemerintah menetapkan besaran BMTP dengan skema tarif menurun selama tiga tahun. Penurunan bertahap ini dimaksudkan sebagai masa transisi agar industri dalam negeri dapat menyesuaikan diri dengan persaingan global. Kebijakan tersebut mencakup produk benang kapas dengan pos tarif HS 5204, 5205, dan 5206, meliputi jenis benang carded, combed, serta benang campuran kapas.

Selain itu, BMTP diberlakukan terhadap impor dari seluruh negara, kecuali 120 negara berkembang anggota WTO yang tercantum dalam Lampiran B, dengan syarat importir dapat menunjukkan dokumen Certificate of Origin (CoO) yang sah. Apabila CoO tidak valid atau tidak diserahkan, maka BMTP tetap akan dipungut penuh. Regulasi ini juga menegaskan bahwa BMTP merupakan tambahan dari bea masuk umum atau bea masuk preferensi berdasarkan perjanjian internasional seperti FTA dan CEPA.

Menariknya, kebijakan ini juga mencakup pengawasan terhadap barang yang masuk melalui kawasan perdagangan bebas, kawasan berikat, atau fasilitas kepabeanan lainnya, kecuali jika diatur berbeda oleh peraturan kawasan tersebut. PMK 67/2025 ditandatangani oleh Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa pada 8 Oktober 2025 dan diundangkan pada 20 Oktober 2025, dengan ketentuan mulai berlaku sepuluh hari setelah tanggal pengundangan.

Sementara itu, Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) sebelumnya telah mengirim surat kepada Menteri Keuangan untuk membahas penyelamatan industri tekstil dan produk tekstil (TPT) nasional yang terdampak oleh praktik impor ilegal dan dumping produk. Ketua APSyFI, Redma Gita Wirawasta, menyampaikan bahwa perhatian pemerintah terhadap isu impor ilegal menjadi harapan baru bagi para pelaku usaha tekstil.

Menurut Redma, integrasi rantai pasok industri tekstil nasional dari hulu hingga hilir saat ini terganggu akibat maraknya produk impor ilegal. Ia juga menyoroti adanya kesenjangan antara data perdagangan Indonesia dengan negara mitra yang menunjukkan banyaknya barang impor yang tidak tercatat dalam sistem Bea Cukai, menimbulkan kerugian bagi negara dan pelaku usaha lokal.

APSyFI mendorong Direktorat Jenderal Bea dan Cukai untuk memperkuat pengawasan serta memperbaiki prosedur penerimaan barang impor, terutama dengan mengoptimalkan sistem port-to-port manifest. Redma menilai masih terdapat celah dalam sistem, di mana importir dapat membuat dokumen Pemberitahuan Impor Barang (PIB) tanpa merujuk pada Master Bill of Lading, sehingga membuka peluang terjadinya misdeclare, under invoicing, dan penyalahgunaan kode HS.

Kebijakan BMTP yang diberlakukan oleh pemerintah menjadi sinyal kuat bahwa perlindungan terhadap industri tekstil nasional terus menjadi prioritas. Dengan pengawasan yang ketat dan regulasi yang terarah, diharapkan industri dalam negeri dapat memperkuat daya saingnya serta beradaptasi menghadapi tantangan perdagangan global.

 
 
 
 
 
 
Ch