Maraknya peredaran pakaian bekas impor ilegal semakin menekan industri tekstil nasional yang tengah berjuang bertahan di tengah perlambatan ekonomi. Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menilai praktik tersebut telah memberikan pukulan telak bagi sektor tekstil, terutama pada industri padat karya yang menjadi tumpuan hidup jutaan pekerja Indonesia.
Direktur Eksekutif Indef, Esther Sri Astuti, mengungkapkan bahwa banjirnya pakaian bekas ilegal telah menggerus pangsa pasar dalam negeri secara signifikan. Akibatnya, ribuan pabrik kesulitan menjual produk dan terpaksa melakukan pengurangan tenaga kerja. “Sekitar 520 ribu pekerja di sektor tekstil mengalami lay off karena pabrik kehilangan pangsa pasar,” ujarnya dalam program Investor Market Today yang disiarkan BeritaSatu TV pada Jumat (31/10/2025).
Menurut Esther, dampak terbesar dirasakan oleh pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) serta pabrik berskala menengah yang kini menghadapi penurunan omzet drastis. Konsumen cenderung beralih ke pakaian bekas impor karena harganya lebih murah, meskipun kualitas dan kebersihannya belum tentu terjamin. “Impor pakaian bekas ini mengikis sekitar 15 persen pangsa pasar produsen tekstil nasional. Banyak pabrik, khususnya UMKM, terpaksa mengurangi jumlah pekerja karena penjualan menurun,” katanya.
Selain merugikan pelaku usaha dalam negeri, praktik impor ilegal ini juga mengakibatkan kerugian bagi negara. Esther menegaskan bahwa aktivitas tersebut tidak memberikan kontribusi pajak karena tidak tercatat secara resmi. “Negara kehilangan potensi penerimaan karena aktivitas ini tidak dikenai pajak,” jelasnya.
Data dari Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) menunjukkan bahwa nilai kerugian ekonomi akibat impor pakaian bekas ilegal mencapai sekitar Rp1 triliun per tahun. Angka ini mencerminkan besarnya tekanan terhadap sektor tekstil nasional yang selama ini berperan penting dalam penyerapan tenaga kerja dan peningkatan ekspor nonmigas.
Untuk itu, Esther mendesak pemerintah agar memperketat pengawasan dan memperbaiki regulasi yang selama ini masih memberi celah bagi masuknya pakaian bekas ilegal. Ia juga menekankan pentingnya penegakan hukum terhadap pihak-pihak yang terlibat dalam rantai perdagangan gelap tersebut. “Jika pengawasan benar-benar diperkuat, seharusnya impor pakaian bekas bisa dihentikan. Pemerintah juga perlu menelusuri pihak-pihak yang terlibat di balik praktik ini,” pungkasnya.
Krisis akibat impor ilegal ini menjadi sinyal kuat bahwa perlindungan terhadap industri tekstil nasional perlu segera diperkuat, bukan hanya demi menjaga daya saing, tetapi juga untuk melindungi ratusan ribu pekerja yang menggantungkan hidup di sektor ini.