Print

Tren positif di sektor manufaktur Indonesia belum sepenuhnya mencerminkan kondisi yang merata di semua subsektor industri. Meski Purchasing Managers’ Index (PMI) Manufaktur dan Indeks Kepercayaan Industri (IKI) menunjukkan ekspansi pada Oktober 2025, sejumlah sektor seperti tekstil dan karet masih menghadapi tekanan berat akibat mahalnya bahan baku, lemahnya konsumsi, dan ketidakpastian regulasi.

Data Kementerian Perindustrian mencatat, PMI Manufaktur Indonesia yang dirilis S&P Global naik dari 50,4 pada September menjadi 51,2 pada Oktober 2025. IKI pun meningkat dari 53,02 menjadi 53,50, menunjukkan optimisme pelaku industri. Dari 23 subsektor yang dianalisis, 22 di antaranya mengalami ekspansi dengan kontribusi 98,8 persen terhadap PDB industri pengolahan nonmigas. Namun, satu subsektor yang masih mengalami kontraksi adalah industri tekstil (KBLI 13), yang terpukul oleh lemahnya permintaan domestik serta serbuan impor benang dan kain.

Beberapa sektor menunjukkan perkembangan menggembirakan, seperti industri pengolahan tembakau, kertas, dan furnitur yang terdorong oleh program Bangga Buatan Indonesia (BBI) dan meningkatnya pesanan ekspor menjelang akhir tahun. Sementara itu, industri kayu dan rotan juga tumbuh positif karena permintaan ekspor ke Jepang dan Eropa.

Di sisi lain, industri karet dan produk karet mencatat ekspansi selama tiga bulan berturut-turut. Namun, ekspansi tersebut belum diikuti peningkatan produksi akibat terbatasnya pasokan bahan baku dan tingginya harga karet alam. Juru Bicara Kementerian Perindustrian Febri Hendri Antoni Arif menilai perlu adanya regulasi tata niaga karet yang mampu menjaga keseimbangan antara pasokan dan permintaan agar industri tetap berjalan stabil.

Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Ban Indonesia (APBI) Aziz Pane menekankan pentingnya hilirisasi yang nyata, bukan sekadar wacana. Ia mengungkapkan bahwa dari total komponen ban, hanya 27 persen bahan bakunya berasal dari karet alam dalam negeri, sementara 70 persen sisanya masih bergantung pada impor seperti carbon black dan karet sintetis. Padahal, Indonesia merupakan produsen karet terbesar kedua di dunia setelah Thailand dan eksportir karet nomor satu dengan kontribusi 27,99 persen terhadap total ekspor global.

Aziz menilai, pemenuhan kebutuhan bahan baku dalam negeri harus menjadi prioritas agar industri karet nasional tidak terus terbebani biaya impor dalam dolar AS. “Hilirisasi harus dijalankan sungguh-sungguh. Kalau bahan baku terus diimpor, industri sulit bersaing dan tidak bisa berkembang,” ujarnya.

Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Garmen dan Tekstil Indonesia (AGTI) Anne Patricia Sutanto menyoroti masalah daya saing dan regulasi sebagai penghambat utama kebangkitan industri tekstil. Ia mengungkapkan, pihaknya telah menyerahkan peta jalan penguatan daya saing nasional kepada Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa, yang mencakup strategi kerja sama dagang, penyederhanaan perizinan, dan efisiensi biaya produksi.

Anne menilai efektivitas Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2025 yang mengatur perizinan industri manufaktur perlu dievaluasi agar benar-benar terasa manfaatnya di lapangan. Ia juga mendukung langkah pemerintah memperketat impor pakaian jadi, agar pasar lokal tidak dibanjiri produk murah dari luar negeri. “Barang impor yang tidak memenuhi ketentuan sebaiknya tidak dilepas ke pasar domestik,” tegasnya.

Selain itu, Anne menyoroti biaya produksi tinggi sebagai faktor utama lemahnya daya saing produk lokal. Biaya perizinan, logistik, dan energi yang tinggi membuat produk dalam negeri sulit menandingi harga produk impor. Ia juga menekankan pentingnya keseimbangan antara kebijakan upah dan produktivitas agar industri tetap mampu menyerap tenaga kerja tanpa kehilangan daya saing.

Aziz Pane pun sependapat bahwa isu upah harus dilihat secara menyeluruh. Menurutnya, kondisi industri yang masih menghadapi tekanan akibat mahalnya harga gas industri—yang mencapai sekitar 16 dolar AS per juta metrik british thermal unit (MMBTU)—membuat kenaikan upah justru bisa menjadi beban tambahan. Ia menilai, jika efisiensi dan produktivitas sudah meningkat, kesejahteraan pekerja pun akan ikut terangkat secara berkelanjutan.

Kinerja positif PMI dan IKI menunjukkan bahwa sektor manufaktur Indonesia masih memiliki potensi besar untuk tumbuh. Namun, tanpa perbaikan fundamental di sektor tekstil dan karet—mulai dari penyediaan bahan baku, efisiensi energi, hingga penyederhanaan izin—ekspansi industri nasional bisa menjadi semu. Pemerintah perlu memastikan agar kebijakan industrialisasi tidak hanya tampak di angka, tetapi juga terasa di pabrik-pabrik dan lapangan kerja seluruh Indonesia.

 
 
 
 
 
 
Chat