Print

Industri tekstil Indonesia tengah menghadapi masa paling gelap dalam sejarahnya. Menteri Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) Maman Abdurrahman memaparkan data mencengangkan: hingga Agustus 2025, terdapat sekitar 1.800 ton pakaian bekas yang masuk ke Indonesia. Angka ini melonjak tajam dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Pada 2021 volume impor pakaian bekas hanya 7 ton, meningkat menjadi 17 ton pada 2022 dan 2023, lalu melonjak drastis hingga 3.600 ton pada 2024.

Fenomena ini tak lepas dari maraknya tren thrifting, yaitu kebiasaan membeli pakaian bekas impor yang masih layak pakai. Bagi konsumen, thrifting adalah solusi untuk mendapatkan barang bermerek dengan harga murah. Di pasar Gedebage, Bandung, misalnya, T-shirt merek olahraga asal Jerman bisa dibeli seharga Rp150 ribu, padahal harga barunya di mal mencapai Rp1 juta. Dengan selisih harga yang begitu jauh, tak heran banyak konsumen beralih ke produk bekas impor.

Namun, di balik ramainya pasar thrifting, pelaku industri tekstil lokal justru menjerit. Serbuan pakaian bekas ini menghantam penjualan produk dalam negeri. Banyak pabrik kehilangan pasar, omzet anjlok, dan terpaksa memangkas produksi. Para pengusaha yang sudah berinvestasi besar dalam pembangunan pabrik, pembelian mesin, bahan baku, serta pembayaran gaji karyawan, kini menghadapi kenyataan pahit: produk mereka tak mampu bersaing dengan baju bekas impor berharga miring.

Ancaman bagi industri tekstil tak hanya datang dari tren thrifting. Sektor hulu, seperti produsen benang dan kain, juga terhimpit oleh maraknya impor bahan baku murah dari Tiongkok dan negara lain. Meskipun pemerintah telah memberlakukan kuota impor, praktik curang masih terjadi. Beberapa perusahaan di kawasan berikat diduga “merembeskan” benang dan kain ke pasar lokal, padahal seharusnya bahan tersebut digunakan untuk produksi ekspor. Dugaan praktik korupsi dan penyalahgunaan izin impor ini semakin memperparah kondisi industri tekstil nasional.

Akibat berbagai tekanan itu, industri tekstil kini berada di ujung tanduk. Banyak perusahaan yang hanya “bertahan hidup” secara teknis, namun secara keuangan sudah nyaris bangkrut. Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) pun tak terhindarkan. Salah satu contoh paling mencolok adalah PT Sri Rejeki Isman (Sritex), produsen seragam militer terbesar di Asia Tenggara, yang harus merumahkan 11.025 pekerjanya antara Agustus 2024 hingga Februari 2025. Jika raksasa sekelas Sritex saja tumbang, nasib pabrik konveksi berskala kecil tentu jauh lebih mengkhawatirkan.

Kondisi ini menandakan bahwa industri tekstil nasional sedang berada di titik nadir. Tanpa kebijakan tegas untuk membendung impor ilegal, memperkuat pengawasan di kawasan berikat, serta memberi insentif bagi produsen lokal, sektor tekstil Indonesia bisa kehilangan daya saingnya secara permanen. Apa yang dulu menjadi kebanggaan nasional kini terancam menjadi sekadar kenangan dalam sejarah industri negeri ini.