Print

Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) masih menghantam sektor industri padat karya di Indonesia. Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN) mencatat sebanyak 126.120 buruh terkena PHK sejak akhir 2022 hingga Oktober 2025. Dari jumlah tersebut, mayoritas merupakan pekerja di sektor tekstil, garmen, dan sepatu yang selama ini menjadi tulang punggung lapangan kerja manufaktur nasional.

Presiden KSPN Ristadi mengungkapkan, total 99.666 orang atau sekitar 79% korban PHK berasal dari industri tekstil, garmen, dan sepatu. Sisanya berasal dari sektor lain seperti ritel, perkebunan, otomotif, pertambangan, hotel, hingga industri mebel dan kertas. “Tertekannya industri dalam negeri karena berbagai faktor mengakibatkan banyak perusahaan melakukan efisiensi, bahkan sampai menutup produksi. Dampaknya, PHK tak terelakkan,” ujarnya di Jakarta, Sabtu (8/11/2025).

Berdasarkan data KSPN, PHK terbesar terjadi di Jawa Tengah dengan 47.940 pekerja atau sekitar 38% dari total korban. Disusul Jawa Barat sebanyak 39.109 pekerja (31%), Banten 21.447 pekerja (17%), Sulawesi Tenggara 7.569 pekerja (6%), serta 10.095 pekerja lainnya tersebar di wilayah seperti Jakarta dan Nusa Tenggara Barat (NTB).

Ristadi menjelaskan, penyebab utama meningkatnya PHK adalah penurunan permintaan produk yang membuat perusahaan harus melakukan efisiensi besar-besaran. Dalam sejumlah kasus, permintaan bahkan berhenti total sehingga manajemen terpaksa menutup pabrik secara permanen. Selain itu, penurunan kualitas dan kuantitas produksi akibat mesin yang sudah usang, gagal bayar utang, kebangkrutan, hingga kalah bersaing dengan produk impor menjadi faktor yang memperparah situasi. Beberapa perusahaan juga memilih merelokasi pabriknya ke luar negeri demi efisiensi biaya.

KSPN menyoroti bahwa gelombang PHK ini tak lepas dari derasnya arus impor produk tekstil dan sepatu yang menggerus pasar domestik. “Dalam lima tahun terakhir kami terus mengangkat isu PHK dan korelasinya dengan barang impor yang membanjiri pasar dalam negeri,” tegas Ristadi.

Sementara itu, data Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) menunjukkan tren peningkatan jumlah pekerja yang terdampak PHK sepanjang 2025. Hingga September 2025, total pekerja ter-PHK mencapai 45.426 orang, naik dari 830 orang pada Agustus menjadi 1.093 orang pada September. Provinsi Jawa Barat kembali mencatat angka tertinggi, yakni 20,95% dari total tenaga kerja yang kehilangan pekerjaan.

Lonjakan PHK ini menjadi sinyal kuat bagi pemerintah untuk segera memperkuat perlindungan industri padat karya nasional. Revitalisasi sektor tekstil dan garmen melalui modernisasi mesin, insentif fiskal, serta pengendalian impor dinilai menjadi langkah krusial agar industri yang menyerap jutaan tenaga kerja ini tidak semakin terpuruk.