Print

Asosiasi Produsen Serat dan Barang Filament Indonesia (APSyFI) menilai momentum Lebaran 2026 akan menjadi titik krusial bagi kebangkitan industri tekstil nasional. Pemerintah diminta mengambil langkah konkret untuk memfasilitasi produsen lokal agar mampu menguasai pasar domestik dan menekan tren Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang masih membayangi sektor manufaktur.

Ketua Umum APSyFI Redma Gita Wirawasta menegaskan bahwa pemerintah harus menunjukkan keberpihakan nyata terhadap industri dalam negeri dengan memperketat pengawasan dan penindakan terhadap praktik impor ilegal yang selama ini menggerus pasar lokal. Ia menyebut, tanpa langkah tegas, produsen dalam negeri akan terus kalah bersaing dengan produk impor murah yang membanjiri pasar.

“Momentum Lebaran tahun depan menjadi faktor penentu apakah industri tekstil bisa bangkit atau justru melanjutkan tren PHK,” ujarnya di Jakarta, Rabu (12/11/2025).

Menurut Redma, terakhir kali industri tekstil merasakan dampak positif dari penjualan Lebaran terjadi pada 2022, ketika pembatasan impor diberlakukan pascapandemi Covid-19. Namun, dalam tiga tahun terakhir, situasi berubah drastis akibat maraknya impor yang kembali mendominasi pasar domestik.

“Selama tiga tahun berturut-turut, barang impor terus menguasai pasar. Para produsen tekstil sudah tidak pernah ‘Lebaran’ lagi, dampaknya adalah PHK dan penutupan pabrik,” katanya.

Untuk mengantisipasi kondisi tersebut, APSyFI mendorong pemerintah mengambil dua langkah strategis jelang Lebaran 2026. Pertama, menindak tegas praktik impor ilegal, terutama impor borongan yang kerap menjadi pintu masuk barang murah dari luar negeri. Kedua, memperkuat perlindungan industri nasional dengan menerapkan bea masuk anti dumping sementara (BMADS) dan bea masuk tindakan pengamanan sementara (BMTPS), atau dengan membatasi kuota impor.

“Penyakit utama kita di pasar domestik adalah persaingan yang tidak fair. Pemerintah harus bertindak cepat agar industri dalam negeri bisa bangkit dengan momentum Lebaran ini,” tegasnya.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam Rayon Tekstil (KAHMI Tekstil) Agus Riyanto meminta pengusaha agar tidak terburu-buru melakukan PHK menjelang Lebaran. Ia menilai, langkah tersebut justru dapat memperburuk situasi industri yang tengah berjuang untuk bertahan.

“Meski kami tahu akan ada biaya ekstra yang harus dikeluarkan pengusaha untuk THR karyawan, namun PHK justru akan memperburuk situasi industri,” ujarnya.

Agus menambahkan, pemerintah perlu memperhatikan pelaku industri kecil dan menengah yang menjadi bagian penting dari rantai pasok tekstil nasional. Ia berharap Kementerian Perindustrian segera mengambil kebijakan nyata untuk memangkas kuota importir dan memberikan ruang lebih besar bagi produsen dalam negeri.

“Kami menunggu gebrakan dari pemerintah untuk membatasi impor dan mengutamakan produk lokal. Jika ini bisa dilakukan, Lebaran 2026 bisa menjadi momentum kebangkitan industri tekstil Indonesia,” tutupnya.