Print

Rencana pemerintah melalui Kementerian Keuangan untuk menerapkan pelarangan impor pakaian bekas memunculkan beragam respons dari masyarakat. Kebijakan ini di satu sisi dianggap sebagai langkah strategis untuk melindungi industri tekstil dalam negeri yang tengah tertekan, namun di sisi lain menimbulkan kekhawatiran bagi pedagang kecil yang menggantungkan hidup pada usaha thrifting.

Pakar Ekonomi dan Guru Besar Ilmu Ekonomi Internasional FEB Unair Surabaya, Prof. Dr. Rossanto Dwi Handoyo, menilai kebijakan tersebut merupakan langkah tepat demi kepentingan jangka panjang perekonomian nasional. Ia menegaskan bahwa arus masuk pakaian bekas impor sudah berada pada level yang mengancam keberlangsungan industri tekstil dan garmen dalam negeri—sektor yang dikenal padat karya dan menyerap banyak tenaga kerja.

Menurut Rossanto, banyak pelaku industri tekstil kini terpaksa menutup usahanya karena tak mampu bersaing dengan banjir produk impor berharga murah, termasuk pakaian bekas. Jika kondisi ini terus dibiarkan, ia memperingatkan bahwa industri lokal akan semakin terdesak, menyebabkan meningkatnya pengangguran dan peralihan masyarakat dari produsen menjadi pedagang. Hal tersebut dinilai akan melemahkan struktur ekonomi nasional dalam jangka panjang.

Ia menekankan pentingnya langkah safeguard measure sebagai bentuk perlindungan negara terhadap industri padat karya yang memiliki peran strategis. Pemerintah, menurutnya, berkewajiban memastikan industri tersebut tetap hidup agar penerimaan pajak terjaga dan kesejahteraan masyarakat tidak menurun.

Rossanto juga menyoroti tantangan teknis dalam proses pengawasan impor pakaian bekas. Berdasarkan Harmonized System (HS), seluruh jenis pakaian bekas—terlepas dari mutunya—tercatat dalam kode barang yang sama. Hal ini menyulitkan Bea Cukai membedakan kualitas produk dan membuka celah penyelundupan ataupun manipulasi dokumen.

Meski menyadari adanya dampak terhadap pelaku usaha thrifting skala kecil, Rossanto menilai bahwa kepentingan nasional harus menjadi prioritas. Ia mengakui bahwa pedagang kecil akan merasakan imbas kebijakan ini, namun kerugian yang ditimbulkan oleh terus beredarnya pakaian bekas impor dinilai jauh lebih besar. Hilangnya kesempatan kerja dan berkurangnya penerimaan pajak dari industri tekstil menjadi alasan kuat mengapa kebijakan pelarangan harus dijalankan demi stabilitas ekonomi nasional.