Print

Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (Apsyfi) mendesak pemerintah segera menerapkan sistem port to port manifest guna menekan maraknya penyelundupan dan praktik mis-declare yang selama ini merugikan industri tekstil nasional. Sistem tersebut mengandalkan dokumen ekspor asli dari negara asal sebagai dasar pemeriksaan impor, bukan lagi inland manifest atau pemberitahuan impor barang (PIB) yang dibuat sendiri oleh importir.

Ketua Umum Apsyfi, Redma Gita Wirawasta, menjelaskan bahwa penggunaan PIB sebagai dokumen utama pemasukan barang membuat data impor sangat rentan dimanipulasi. Dengan skema self declare yang berlaku saat ini, peluang pemalsuan dokumen dan mis-declare menjadi sangat besar dan kerap terjadi. Kondisi ini tercermin dari adanya selisih besar antara data ekspor negara mitra dan data impor Indonesia pada 2024. Apsyfi mencatat nilai impor yang tidak tercatat mencapai US$ 24,10 miliar, sementara untuk komoditas tekstil dan produk tekstil saja nilainya mencapai sekitar US$ 2 miliar.

Redma menuturkan bahwa banyak negara telah menerapkan sistem dokumen impor yang langsung bersumber dari dokumen ekspor asli. Dokumen tersebut dikirim secara elektronik dari pelabuhan asal ke pelabuhan tujuan saat kapal berangkat, sehingga otomatis menjadi dokumen impor sah tanpa dapat diubah lagi oleh importir. Dengan cara ini, celah manipulasi bisa ditutup rapat.

Selain perbaikan sistem dokumen, Apsyfi meminta Bea Cukai memperkuat pengawasan fisik di pelabuhan dengan menerapkan pemindaian kontainer secara menyeluruh. Redma mengatakan bahwa di sejumlah negara, semua kontainer dipindai tanpa pengecualian. Jika hasil pemindaian tidak sesuai dengan dokumen, maka kontainer tersebut langsung masuk jalur merah untuk dibuka dan diperiksa manual. Menurutnya, sistem pengawasan di Indonesia masih lemah karena kontainer yang masuk jalur hijau bisa melintas tanpa pemeriksaan, dan penentuan jalur bergantung pada profiling yang berpotensi disalahgunakan.

Ketua Umum Ikatan Pengusaha Konveksi Berkarya (IPKB), Nandi Herdiaman, juga menyoroti masalah serupa terkait praktik impor borongan yang sering kali langsung masuk jalur hijau. Ia mempertanyakan dasar penetapan risiko bagi importir jenis tersebut yang dinilai janggal. Menurutnya, importir borongan cukup membayar sekitar Rp 150 juta per kontainer tanpa perhitungan pajak dan bea masuk yang sebenarnya. Padahal, satu kontainer 40 kaki berisi pakaian jadi bernilai sekitar Rp 2,4 miliar, sehingga seharusnya bea masuk dan pajak yang dibayar bisa mencapai Rp 1 miliar, atau minimal Rp 450 juta untuk barang dari negara mitra dagang.

Nandi menegaskan dukungan penuh kepada Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa untuk memberantas pelanggaran kepabeanan yang telah terjadi selama bertahun-tahun. Ia menyebut bahwa praktik impor ilegal ini telah membuat banyak pengusaha dan pekerja konveksi terpuruk. Menurutnya, langkah tegas pemerintah memberikan harapan baru bagi kebangkitan industri konveksi dan tekstil dalam negeri.