Pelaku industri tekstil dan alas kaki Indonesia tengah berada dalam situasi penuh kekhawatiran seiring belum tuntasnya negosiasi tarif resiprokal dengan Amerika Serikat. Mereka berharap produk manufaktur unggulan—khususnya tekstil dan alas kaki—dapat memperoleh tarif rendah bahkan nol persen dalam skema dagang baru yang sedang dirumuskan pemerintah bersama AS.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto sebelumnya menyatakan bahwa negosiasi tarif resiprokal telah memasuki fase akhir dan ditargetkan selesai dalam tahun ini. Saat ini kedua negara sedang menyusun legal drafting sebagai tahap penentu. Dalam pembahasan tersebut, sejumlah komoditas Indonesia yang tidak diproduksi AS berpeluang mendapat tarif nol persen, seperti CPO, karet, produk karet, teh, dan kopi. Namun posisi tarif untuk tekstil dan alas kaki masih menjadi topik negosiasi.
Direktur Eksekutif Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Danang Girindrawardana menegaskan bahwa tarif resiprokal sebesar 19 persen yang dikenakan AS saat ini menjadi tekanan besar bagi industri domestik. Ia berharap tarif tersebut dapat ditekan hingga nol persen. Menurutnya, sampai sekarang belum ada kepastian apakah produk tekstil dan produk tekstil (TPT) akan termasuk dalam kategori barang yang memperoleh keringanan tarif.
API berencana bertemu pemerintah dalam waktu dekat untuk membahas posisi tawar Indonesia dalam negosiasi tersebut. Danang menekankan bahwa sektor TPT merupakan industri padat karya yang membutuhkan keberpihakan agar mampu mempertahankan daya saing global. Ia juga mengingatkan bahwa selain tarif resiprokal, industri masih menanggung tarif most favoured nation (MFN) sebesar 5–10 persen. Tanpa penurunan tarif dari AS, beban industri dinilai akan semakin berat.
Danang menyebut Indonesia memiliki argumen kuat dalam negosiasi, yaitu komitmen mengimpor kapas dari AS. Kapas tersebut memiliki kualitas baik dan harga kompetitif serta menjadi salah satu bahan baku penting industri TPT. Dengan nilai impor kapas yang signifikan, Indonesia berharap produk tekstil dan garmen yang diekspor ke AS layak memperoleh tarif nol persen. Data impor menunjukkan bahwa kapas merupakan komoditas ke-25 terbesar yang diimpor Indonesia, dengan Amerika Serikat berada di posisi ketiga pemasok utama setelah China dan Australia. Peningkatan impor kapas dari AS dapat menjadi ruang negosiasi untuk mendapatkan tarif khusus dari Washington.
Di sektor alas kaki, Direktur Eksekutif Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) Yoseph Billie Dosiwoda juga menyatakan belum menerima informasi apakah produk alas kaki akan masuk daftar penerima tarif nol persen. Meski demikian, pelaku industri tetap berharap agar tarif 19 persen dapat diturunkan setidaknya mendekati 10 persen atau bahkan lebih rendah, sehingga produk Indonesia dapat bersaing dengan negara pesaing seperti Vietnam, Kamboja, dan China. Tarif yang terlalu tinggi dikhawatirkan tidak hanya membebani produsen, tetapi juga menekan daya beli publik AS akibat kenaikan harga produk impor.
Selain persoalan tarif, Aprisindo mendorong pemerintah memberikan berbagai insentif untuk menjaga keberlangsungan industri. Insentif tersebut meliputi potongan harga gas dan listrik industri, relaksasi pemasangan panel surya, serta penangguhan program BPJS Ketenagakerjaan tertentu yang dinilai membebani arus kas perusahaan. Mekanisme restitusi PPN subkontrak di kawasan berikat juga menjadi sorotan karena menghambat perputaran modal akibat lamanya proses pencairan yang bisa lebih dari setahun. Negara-negara pesaing disebut tidak menerapkan kewajiban serupa, sehingga struktur biaya industri alas kaki Indonesia dinilai kalah kompetitif.
Billie menilai penghapusan PPN subkontrak akan menjadi langkah konkret untuk menjaga tenaga kerja, meningkatkan daya saing, dan memperkuat ekspor di tengah tekanan tarif. Selain itu, pelaku industri juga meminta pemerintah melakukan deregulasi untuk memudahkan perizinan, mulai dari penyederhanaan dokumen amdal hingga proses perpanjangan izin bahan berbahaya dan sertifikasi mesin.
Dengan kompleksitas tantangan mulai dari tarif tinggi hingga beban biaya produksi, pelaku industri menaruh harapan besar pada hasil akhir negosiasi Indonesia-AS. Kejelasan dan keberpihakan pemerintah dinilai menjadi faktor kunci dalam menjaga kelangsungan ribuan tenaga kerja serta masa depan daya saing industri tekstil dan alas kaki Indonesia di pasar global.