Print

Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) di Jawa Barat tengah mengalami fase tersulit dalam beberapa tahun terakhir. Lesunya permintaan pasar akibat tingginya serbuan produk impor, baik legal maupun ilegal, menyebabkan industri ini menjadi kontributor terbesar pemutusan hubungan kerja (PHK) di Jawa Barat sepanjang 2025. Mayoritas pelaku industri tekstil berjalan berdasarkan permintaan pasar, namun kini permintaan tersebut melemah signifikan karena pasar dalam negeri harus bersaing dengan produk impor dalam jumlah besar.

Staf Sekretariat Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jabar, Geraldi Holomoan, mengungkapkan bahwa tekanan terhadap industri TPT terjadi dari dua arah. Produk pakaian jadi dihilir menghadapi kompetisi ketat dari barang impor ilegal seperti produk thrifting, sedangkan sektor hulu diserbu produk impor legal yang semakin menguasai pasar. Kondisi ini membuat industri padat karya menjadi sulit menyerap tenaga kerja dan berdampak langsung pada meningkatnya PHK. Bahkan, tak sedikit perusahaan besar mempertimbangkan untuk relokasi pabrik ke wilayah yang menawarkan biaya produksi lebih rendah seperti Jawa Tengah.

Geraldi juga menyoroti potensi PHK pada pelaku usaha skala kecil seperti industri kecil menengah (IKM). Banyak IKM yang memproduksi barang umum seperti pakaian bayi atau pakaian keagamaan, namun kalah bersaing dengan produk impor serupa yang lebih murah. Jika tekanan impor terus terjadi, gelombang PHK di sektor ini tidak lagi dapat dihindari. Ia menegaskan bahwa pada 2026, fokus utama API Jabar adalah mempertahankan pasar demi menjaga daya tahan industri dan keberlangsungan sektor TPT nasional.

Berbeda dengan kondisi tersebut, sektor perhotelan dan restoran di Jawa Barat dilaporkan belum mengalami PHK selama 2025. Ketua PHRI Jabar, Dodi Ahmad Sofiandi, menyebutkan bahwa penyesuaian yang dilakukan sejauh ini hanya sebatas pengurangan jam kerja akibat rendahnya tingkat hunian hotel.

Pengamat Ekonomi Universitas Padjadjaran, Ferry Hadiyanto, menyampaikan kekhawatirannya bahwa gelombang PHK yang dipicu oleh sektor padat karya semakin membesar bak bola salju. Meskipun investasi di Jabar tercatat tinggi, namun sebagian besar mengalir pada industri padat modal yang tidak memberi kontribusi signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja. Ia menilai relokasi industri ke Jawa Tengah seharusnya tidak menjadi masalah selama masih dalam wilayah NKRI, namun Jabar akan menanggung dampak besar berupa meningkatnya pengangguran jika tidak segera mengantisipasinya.

Ferry menekankan perlunya perhatian khusus pemerintah daerah, mengingat transformasi industri menuju era 4.0 tidak diimbangi kesiapan tenaga kerja yang masih didominasi pekerja berkemampuan rendah. Jika tidak ada kebijakan dan insentif bagi sektor padat karya, ia memperingatkan bahwa PHK akan terus meningkat. Ia juga meminta kejelasan dari pemerintah pusat mengenai posisi Jawa Barat sebagai wilayah sentra industri padat karya nasional.

Pandangan serupa diungkapkan anggota Komisi V DPRD Jabar, Maulana Yusuf Erwinsyah, yang menilai kebijakan pemerintah provinsi lebih condong kepada investor padat modal daripada usaha padat karya. Menurutnya, ketergantungan pada teknologi membuat penyerapan tenaga kerja minim meskipun pertumbuhan ekonomi secara angka tampak meningkat. Ia juga mengkritisi lemahnya pendataan kebutuhan tenaga kerja dan ketidaktepatan program pencari kerja yang tidak memberikan solusi nyata terkait kesenjangan antara dunia pendidikan dan kebutuhan industri.

Anggota Komisi V lainnya, Zaini Shofari dari PPP, menyoroti bahwa pertumbuhan ekonomi Jabar yang mencapai 5,20% lebih banyak ditopang konsumsi, bukan investasi sektor riil yang mampu membuka lapangan kerja. Ia menilai beberapa kebijakan provinsi masih kurang mendukung kondisi ekonomi dan perlu diimbangi dengan upaya membuka usaha legal yang dapat menampung tenaga kerja baru ketika sektor ilegal ditertibkan.

Dengan berbagai tekanan yang ada, masa depan industri TPT di Jawa Barat bakal bergantung pada keseriusan pemerintah dalam memperkuat sektor padat karya, menciptakan daya saing industri, serta menjaga keberlangsungan lapangan pekerjaan yang selama ini menjadi tulang punggung ekonomi daerah.