Print

Industri tekstil Indonesia masih menghadapi tekanan berat di tengah tren ekspansi sektor manufaktur nasional. Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mencatat Indeks Kepercayaan Industri (IKI) pada November 2025 berada pada level ekspansi 53,45. Namun, dari 23 sub sektor manufaktur, industri tekstil menjadi satu-satunya yang mengalami kontraksi—bahkan dalam dua bulan berturut-turut setelah Oktober 2025 menunjukkan hasil serupa.

Sejumlah faktor dinilai menjadi penyebab melemahnya industri tekstil nasional. Permintaan yang belum pulih, ditambah kenaikan harga bahan baku dan bahan penolong, membuat harga jual ikut meningkat dan menekan penjualan ritel. Kondisi serupa terjadi pada industri penyempurnaan kain karena pasar masih dibanjiri stok kain jadi, sehingga aktivitas produksi tidak dapat berjalan optimal.

Stabilitas pelaku industri semakin diuji dengan melemahnya nilai rupiah terhadap dolar Amerika Serikat dan peningkatan inflasi sejak triwulan ketiga. Tekanan tersebut membuat banyak pabrik berada dalam fase bertahan agar tetap bisa menjalankan operasional.

Juru Bicara Kemenperin, Febri Hendri Antoni Arief, menjelaskan bahwa kontraksi terutama dirasakan industri yang berorientasi ekspor. Sementara itu, industri yang memfokuskan penjualan pada pasar domestik masih menunjukkan ekspansi. Febri juga menyoroti persoalan produk tekstil dari kawasan berikat yang masuk ke pasar dalam negeri. Padahal, fasilitas kawasan berikat diberikan untuk mendukung ekspor melalui berbagai insentif fiskal. Ketika produk dari kawasan berikat dilempar ke pasar lokal, kompetisi menjadi tidak seimbang bagi pelaku industri di luar kawasan tersebut.

Pelaku usaha Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) juga menyuarakan kekhawatiran mereka. Wakil Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), David Leonardi, menyampaikan bahwa kontraksi berulang merupakan sinyal pesimisme pelaku industri terhadap prospek bisnis. Menurutnya, maraknya impor ilegal menjadi faktor besar yang menekan utilisasi kapasitas pabrik, mengurangi produksi, dan melemahkan permintaan pasar terhadap produk lokal.

Kondisi industri hulu bahkan jauh lebih memprihatinkan. Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat & Benang Filamen Indonesia (APSyFI), Farhan Aqil Syauqi, mengungkap lima pabrik telah menutup operasi sepanjang tahun 2025, berdampak pada pemutusan hubungan kerja sekitar 3.000 pekerja. Enam pabrik lainnya kini beroperasi di bawah 50 persen kapasitas, dan beberapa menjalankan produksi secara tidak penuh. Ia menegaskan bahwa gempuran impor dumping menjadi penyebab utama ketidakmampuan industri hulu bersaing.

Farhan juga memperingatkan bahwa akhir tahun menjadi momen krusial dalam penentuan kuota impor. Jika kebijakan impor tidak dikendalikan, potensi tutupnya lebih banyak pabrik sangat mungkin terjadi. Ia meminta transparansi kuota impor agar pelaku industri dapat merencanakan produksi tahun berikutnya secara lebih pasti.

Meski tantangan besar masih membayangi, sejumlah pelaku industri melihat secercah harapan. Ketua Umum Asosiasi Garment dan Textile Indonesia (AGTI), Anne Patricia Sutanto, menilai sektor hilir mulai menunjukkan pemulihan lebih cepat. Order domestik meningkat, pasar ekspor mulai bergeliat, dan kepercayaan pelaku usaha perlahan tumbuh kembali. Namun pemulihan ini belum merata, karena industri serat dan benang masih bekerja dalam tekanan berat.

Anne menilai pengetatan pengawasan impor ilegal dan tindakan tegas terhadap perdagangan pakaian bekas memberikan dampak positif nyata di lapangan. Mulai dari peningkatan shift produksi, penyerapan tenaga kerja yang lebih stabil, hingga munculnya kembali kepercayaan untuk berinvestasi.

Ia optimistis bahwa jika kebijakan proteksi, transformasi industri, dan ketegasan penegakan hukum dilakukan konsisten, maka pada 2026 industri TPT Indonesia berpeluang kembali ke jalur pertumbuhan. Sinyal awal pemulihan sudah ada, dan pekerjaan selanjutnya adalah memastikan momentum ini tidak kembali tertekan oleh banjir impor.