Print

Industri hulu tekstil Indonesia tengah berada dalam kondisi yang mengkhawatirkan. Banjirnya produk impor, khususnya kain dan benang dengan harga dumping, serta maraknya pakaian bekas impor yang beredar di pasar domestik menyebabkan tekanan mendalam bagi pabrik-pabrik lokal. Akibatnya, sejumlah perusahaan besar tumbang dan ribuan tenaga kerja kehilangan mata pencaharian.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat & Benang Filamen Indonesia (APSyFI), Farhan Aqil Syauqi, mengungkapkan bahwa sepanjang 2025 sudah ada lima pabrik tekstil yang berhenti beroperasi. Penutupan tersebut diperkirakan memicu pemutusan hubungan kerja terhadap sekitar 3.000 pekerja. Menurunnya penjualan di pasar domestik menjadi alasan utama kerugian perusahaan, yang diperburuk dengan masuknya produk impor berharga sangat murah.

Beberapa perusahaan yang gulung tikar antara lain PT Polychem Indonesia, PT Asia Pacific Fibers, PT Rayon Utama Makmur yang merupakan bagian dari Sritex Group, dan PT Sulindafin. Farhan menambahkan bahwa setidaknya enam pabrik lainnya sudah beroperasi di bawah 50 persen kapasitas, bahkan sebagian sudah menerapkan sistem on-off karena anjloknya permintaan.

Pelaku industri khawatir kondisi ini akan semakin memburuk pada 2026 jika pemerintah tidak segera menindak tegas penyebab banjir impor tekstil. Kurangnya transparansi mengenai pemberian kuota impor dituding memperburuk situasi, karena industri dalam negeri kesulitan menentukan rencana produksi ke depannya.

Di sisi lain, impor pakaian bekas ilegal juga turut mempersempit ruang pasar bagi produk lokal. Wakil Ketua Umum Bidang Perindustrian Kadin Indonesia, Saleh Husin, menegaskan bahwa UMKM menjadi pihak yang paling terdampak dari maraknya peredaran pakaian thrifting tersebut. Ia menekankan perlunya pengetatan pengawasan baik di pelabuhan resmi maupun pelabuhan tikus untuk mencegah masuknya barang ilegal.

Fenomena penjualan pakaian bekas kini bahkan terlihat terang-terangan di sejumlah pusat perbelanjaan seperti Senen Jaya, Jakarta. Harga murah, kualitas masih baik, dan model yang menarik menjadi alasan konsumen lebih memilih pakaian impor bekas dibanding produk baru dalam negeri. Kondisi ini membuat persaingan semakin tidak adil bagi industri lokal yang harus mengikuti standar produksi lebih ketat dan biaya yang lebih tinggi.

Pemerintah menyatakan tengah melakukan langkah korektif untuk memperbaiki kondisi. Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menyoroti perlunya reformasi menyeluruh di sektor pengawasan bea cukai dan memastikan bahwa praktik impor ilegal ditindak tegas. Pemerintah juga telah membentuk satuan tugas khusus untuk mengatasi hambatan bisnis dan investasi yang selama ini menjadi bottleneck bagi dunia usaha.

Namun, pelaku industri menilai bahwa tindakan nyata dan cepat masih sangat dibutuhkan untuk mencegah gelombang penutupan pabrik selanjutnya. Jika banjir produk impor terus dibiarkan, Indonesia bukan hanya kehilangan kapasitas industri tekstilnya, tetapi juga menghadapi ancaman deindustrialisasi yang lebih besar — sebuah risiko yang dapat menggerus daya saing ekonomi nasional dalam jangka panjang.