Perdebatan mengenai impor pakaian bekas kembali mengemuka dan belum menemukan titik akhir. Pemerintah tetap bersikeras memperketat aturan, sementara pedagang thrifting terus berupaya memperjuangkan ruang eksistensinya di pasar. Usulan terbaru muncul dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama Komisi VI DPR pada 2 Desember 2025, di mana Asosiasi Pedagang Pakaian Bekas Indonesia (APPBI) mengajukan skema pajak khusus 7,5 hingga 10 persen bagi impor pakaian bekas.
Ketua APPBI, WR Rahasdikin, berpendapat bahwa legalisasi impor dengan pengenaan pajak dapat membuka sumber penerimaan baru bagi negara. Ia menyebutkan bahwa jika pakaian bekas impor diperbolehkan, maka produk tersebut dapat dikenakan berbagai layer pajak seperti bea masuk, PPN 11 persen, PPh 22 impor 7,5 persen, hingga pungutan khusus 7,5–10 persen. Menurut asosiasi, langkah tersebut akan menciptakan regulasi yang adil sekaligus membuka peluang pengawasan pemerintah.
Namun pemerintah tetap bersikap keras. Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan bahwa prioritas utama pemerintah adalah menutup masuknya barang ilegal dan bukan memfasilitasi bisnis thrifting. Ia menyatakan dengan tegas bahwa negara tidak boleh melonggarkan aturan hanya karena adanya permintaan pasar. Hal serupa disampaikan oleh Menteri UMKM Maman Abdurrahman, yang menolak wacana kuota impor pakaian bekas. Ia menilai bahwa larangan harus tetap berlaku, meski solusi bagi pedagang kecil tetap perlu disiapkan.
Tidak hanya menyangkut hukum, isu ini juga berkaitan dengan keberlangsungan industri tekstil nasional. Anggota Komisi VI DPR, Darmadi Durianto, menyebut impor pakaian bekas sebagai salah satu penyebab melemahnya industri tekstil dalam negeri, selain banjir impor produk murah baru dari China dan ketatnya persaingan di e-commerce. Menurutnya, masuknya barang bekas ilegal tidak hanya melanggar aturan, tetapi juga melemahkan produksi lokal yang menyerap jutaan pekerja.
Pakar Kebijakan Publik Universitas Brawijaya, Andhyka Muttaqin, melihat polemik ini sebagai benturan tiga kepentingan: pedagang kecil yang menuntut legalitas, pemerintah yang menjaga tata niaga, serta industri tekstil nasional yang membutuhkan perlindungan. Ia menegaskan bahwa pemerintah harus tetap tegas menegakkan larangan impor sambil memikirkan solusi transisi bagi pelaku usaha thrifting.
Andhyka merekomendasikan beberapa opsi, antara lain memindahkan fokus thrifting ke pasar pakaian bekas lokal, mengembangkan ekosistem daur ulang tekstil, serta memberikan pendampingan dan akses modal bagi para pedagang agar dapat beralih ke komoditas legal. Dengan demikian, penegakan hukum dapat berjalan tanpa mematikan sumber penghidupan ribuan pelaku UMKM.
Polemik impor pakaian bekas bukan hanya soal bisnis, melainkan persoalan etika perdagangan, perlindungan industri, serta keberpihakan negara pada pelaku usaha kecil. Di antara kepentingan yang saling bertabrakan, tantangan terbesar pemerintah adalah mencari titik tengah yang tidak hanya menegakkan regulasi, tetapi juga memastikan roda ekonomi UMKM tetap berputar.