Print

Industri tekstil dan pakaian jadi (TPT) masih memegang peranan vital dalam perekonomian nasional sebagai sektor padat karya yang menyerap sekitar 3,75 juta tenaga kerja atau 19,16% dari total industri manufaktur, serta menyumbang devisa ekspor sebesar USD 6,92 miliar. Namun, di tengah kontribusinya yang besar, kinerja sektor ini kembali diuji, terbukti dari pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) TPT yang hanya mencapai 0,93% pada triwulan III 2025. Tantangan lain turut muncul dari defisit neraca perdagangan dan disparitas utilisasi produksi, di mana kemampuan industri pakaian jadi mencapai 72,67%, namun industri tekstil hulu hanya 51,71% per Juli 2025.

Persoalan ini menunjukkan adanya gap kompetitif yang perlu disikapi secara serius. Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian menilai bahwa industri TPT masih menghadapi hambatan teknologi dan daya saing ketika dihadapkan dengan penetrasi produk asing. Menyusutnya jumlah pusat penjualan tekstil lokal menjadi indikasi bahwa transformasi industri perlu dipercepat, terutama dalam peningkatan teknologi dan inovasi produk agar tidak kalah dari negara lain.

Sebagai langkah konkret, Kemenko Perekonomian bersama Prospera menggagas penyusunan grand design penguatan industri TPT nasional melalui Forum Kebijakan Strategis Bedah Hasil Kajian “Arah Pengembangan Industri Tekstil dan Pakaian Jadi yang Berkelanjutan dan Berdaya Saing Global”. Kajian ini menjadi alat pemetaan menyeluruh guna mengidentifikasi tantangan, peluang, serta rekomendasi kebijakan strategis yang mampu memperkuat ekosistem industri dari hulu hingga hilir. Penyusunan kajian dilakukan oleh tim multidisiplin dan melibatkan kementerian/lembaga, asosiasi, pelaku industri, hingga akademisi untuk memastikan kebijakan yang dirumuskan tepat sasaran dan relevan.

Kajian tersebut menyimpulkan bahwa Indonesia memiliki peluang besar untuk bertumbuh melalui pengembangan produk high value garments dan sustainable materials, sejalan dengan tren pasar global yang mengedepankan aspek keberlanjutan. Namun, peluang ini dibayang-bayangi oleh tantangan struktural seperti ketergantungan bahan baku impor, kesenjangan kompetensi SDM, tingginya biaya energi dan logistik, lemahnya integrasi rantai pasok, hingga persaingan global akibat overcapacity dan praktik dumping dari Tiongkok.

Sebanyak 20 rekomendasi yang dikeluarkan dalam kajian menekankan pentingnya penguatan menyeluruh ekosistem TPT, terutama pada sektor hulu dan antara. Rekomendasi prioritas mencakup penataan tata niaga impor untuk melindungi pasar domestik, peningkatan kapasitas industri agar memenuhi standar keberlanjutan global, pemanfaatan perjanjian perdagangan IEU CEPA untuk penetrasi pasar Eropa, serta fokus pada pengembangan produk tekstil bernilai tambah tinggi dan berbasis material ramah lingkungan.

Bappenas menilai bahwa industri TPT Indonesia masih terjebak pada model produksi dengan nilai tambah rendah atau cut-make-trim (CMT). Untuk keluar dari jebakan tersebut, dibutuhkan lompatan pengembangan nilai tambah melalui intra-sector upgrading dan inter-sector upgrading, di mana sustainable fashion dinilai dapat menjadi strategi percepatan. Kementerian Perindustrian turut menegaskan komitmennya terhadap program prioritas TPT 2026–2029 yang diarahkan pada penguatan struktur industri, peningkatan daya saing global, serta transformasi menuju industri hijau, sirkular, dan digital.

Hasil forum ini akan menjadi bahan strategis bagi penyusunan kebijakan nasional dalam rangka revitalisasi ekosistem industri TPT dan penyusunan strategi pengembangan jangka panjang yang berkelanjutan dan kompetitif secara global. Pelibatan berbagai kementerian dan lembaga negara menunjukkan bahwa penguatan industri TPT bukan hanya agenda sektoral, tetapi langkah nasional untuk meningkatkan perekonomian, menjaga lapangan kerja, dan menempatkan Indonesia pada posisi yang lebih kuat dalam rantai nilai global.