Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) terus menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia. Dengan kemampuan menyerap 3,75 juta tenaga kerja atau sekitar 19,16 persen dari sektor manufaktur, serta menyumbang devisa ekspor senilai USD 6,92 miliar, industri ini memiliki peran strategis bagi daya saing nasional. Namun, performa sektor TPT pada triwulan III-2025 menunjukkan adanya tekanan, tercermin dari pertumbuhan PDB yang hanya mencapai 0,93 persen (yoy).
Tantangan tersebut semakin terlihat dari melemahnya daya saing, rendahnya pemanfaatan teknologi, hingga tren penurunan jumlah outlet tekstil lokal. Plt. Deputi Bidang Koordinasi Industri, Ketenagakerjaan, dan Pariwisata Kemenko Perekonomian, Dida Gardera, menilai fenomena ini sebagai indikasi bahwa industri TPT membutuhkan pembaruan teknologi dan strategi agar tak tertinggal dari negara kompetitor.
Defisit neraca perdagangan dan disparitas utilisasi produksi—di mana kapasitas pakaian jadi tercatat 72,67 persen sementara tekstil hanya 51,71 persen—menunjukkan adanya masalah struktural yang harus segera diselesaikan. Untuk itu, pemerintah mendorong sinkronisasi kebijakan antara seluruh pemangku kepentingan melalui penyusunan grand design penguatan industri TPT.
Upaya tersebut diwujudkan melalui Forum Kebijakan Strategis Bedah Hasil Kajian “Arah Pengembangan Industri Tekstil dan Pakaian Jadi yang Berkelanjutan dan Berdaya Saing Global” yang digelar Kemenko Perekonomian bekerja sama dengan Prospera. Kajian ini menyajikan pemetaan menyeluruh terhadap kondisi industri, peluang, hambatan, hingga rekomendasi yang disusun secara kolaboratif dengan kementerian/lembaga, asosiasi, pelaku industri, dan akademisi.
Melalui forum tersebut, pemerintah berharap hasil kajian dapat menjadi dasar kebijakan yang menjaga keberlangsungan industri, meningkatkan kontribusi terhadap PDB, serta memperluas penyerapan tenaga kerja. Pada saat yang sama, masyarakat diharapkan dapat menikmati produk tekstil terbaik dengan harga terjangkau.
Kajian tersebut menyoroti peluang besar dalam pengembangan high value garments dan bahan baku berkelanjutan—dua segmen yang tengah naik daun di pasar global. Namun, sejumlah tantangan struktural masih menghambat perkembangan, seperti kesenjangan kompetensi SDM, tingginya ketergantungan impor bahan baku, mahalnya energi dan logistik, lemahnya integrasi rantai pasok, hingga ancaman eksternal seperti overcapacity dan dumping dari Tiongkok.
Sebagai pijakan kebijakan, kajian ini melahirkan 20 rekomendasi yang terbagi dalam empat pilar utama. Beberapa rekomendasi prioritas mencakup penguatan proteksi pasar domestik, penataan tata niaga impor, peningkatan kemampuan memenuhi standar keberlanjutan global, serta pemanfaatan peluang IEU CEPA untuk memperluas akses ekspor ke Eropa.
Direktur Industri, Perdagangan, dan Peningkatan Investasi Kementerian PPN/Bappenas, Roby Fadillah, menegaskan bahwa Indonesia masih terjebak pada rantai produksi ber-nilai tambah rendah atau cut-make-trim. Transformasi diperlukan melalui peningkatan nilai tambah, baik di dalam sektor maupun lintas sektor. Menurutnya, sustainable fashion dapat menjadi strategi lompatan (leapfrog) yang efektif.
Pandangan serupa disampaikan Direktur Industri Tekstil, Kulit, dan Alas Kaki Kementerian Perindustrian, Rizky Aditya Wijaya, yang memastikan bahwa program prioritas dan quick wins TPT 2026–2029 difokuskan pada penguatan struktur industri, peningkatan daya saing global, serta percepatan transformasi menuju industri hijau, sirkular, dan berbasis digital.
Hasil forum ini akan menjadi bahan awal bagi Tim Kerja Revitalisasi Ekosistem Industri TPT lintas kementerian/lembaga dan menjadi masukan penting dalam penyusunan Strategi Nasional Pengembangan Industri Tekstil dan Pakaian Jadi yang lebih berkelanjutan, modern, dan berdaya saing di tingkat global.