Pelaku industri tekstil dan produk tekstil (TPT) tengah diliputi kekhawatiran menyusul perubahan formulasi pengupahan yang akan berlaku pada 2026. Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) menilai kebijakan tersebut berpotensi memperberat beban usaha sektor padat karya dan memicu risiko serius, mulai dari terhambatnya ekspansi hingga ancaman penutupan pabrik.
Ketua Umum API Jemmy Kartiwa menyampaikan, perubahan formula penetapan upah minimum justru menciptakan ketidakpastian baru bagi dunia usaha. Kondisi ini dinilai dapat membuat pelaku industri, termasuk calon investor, berpikir ulang untuk menanamkan modal atau memperluas bisnisnya di Indonesia.
Menurut Jemmy, kebijakan yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 49 Tahun 2025 tersebut merupakan langkah mundur karena melemahkan kepastian hukum dan kepastian berusaha. Padahal, dalam beberapa waktu terakhir, minat investor asing mulai tumbuh untuk menjadikan Indonesia sebagai tujuan investasi pada 2026. API khawatir, perubahan regulasi upah ini justru membuat investor memilih hengkang.
Tekanan tidak hanya dirasakan dari sisi rencana ekspansi, tetapi juga terhadap keberlangsungan industri yang masih bertahan. Beban upah yang meningkat dinilai akan semakin menyulitkan industri TPT untuk menghasilkan keuntungan di tengah kondisi pasar yang belum sepenuhnya pulih.
Sebagaimana diketahui, PP Nomor 49 Tahun 2025 memperkenalkan formula baru penetapan upah minimum, yakni inflasi ditambah pertumbuhan ekonomi yang dikalikan dengan faktor alfa. Nilai alfa ditetapkan dalam rentang 0,5 hingga 0,9, jauh lebih tinggi dibandingkan formula sebelumnya yang berada di kisaran 0,1 hingga 0,3. Kenaikan rentang tersebut dikhawatirkan berdampak signifikan pada struktur biaya industri padat karya.
Direktur Eksekutif API Danang Girindrawardana mengungkapkan, kondisi industri tekstil saat ini masih jauh dari ideal. Hingga kuartal III tahun ini, tingkat utilisasi kapasitas terpasang industri tekstil baru mencapai sekitar 40 persen, turun tajam dibandingkan kuartal I/2023 yang masih berada di level 60 persen.
Ia menambahkan, sejak masa pandemi Covid-19 hingga saat ini, industri tekstil di sektor hulu telah kehilangan sekitar 140.000 tenaga kerja. Jika ditotal dengan sektor garmen, jumlah tenaga kerja yang terdampak diperkirakan mencapai sekitar 250.000 orang.
Danang menekankan, kebijakan pengupahan merupakan faktor yang sangat sensitif bagi industri padat karya. Pengalaman pada akhir 2024, ketika pemerintah menetapkan kenaikan upah minimum provinsi (UMP) 2025 sebesar 6,5 persen, menjadi pelajaran penting. Kebijakan tersebut berujung pada penutupan sejumlah pabrik tekstil.
Beberapa pabrik yang menghentikan operasinya antara lain Asia Pacific Fibers, Polychem Indonesia, Sulindafin, dan Rayon Utama Makmur. Meski penutupan tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor, kenaikan upah diakui menjadi salah satu pemicu yang mempercepat keputusan tersebut.
Saat ini, menurut Danang, masih terdapat industri TPT dan garmen yang berada dalam kondisi tidak sehat, bahkan ada pabrik di Jawa Tengah yang sedang dalam proses penutupan. Dengan kondisi tersebut, kenaikan upah yang melampaui angka 6,5 persen dikhawatirkan semakin memperparah tekanan terhadap industri dan berujung pada gelombang pemutusan hubungan kerja maupun kebangkrutan.