Upaya pemerintah dan pelaku usaha untuk membenahi industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) nasional masih dihadapkan pada berbagai tantangan. Selain tekanan dari produk impor dan peredaran barang ilegal, keterbatasan akses permodalan kini menjadi persoalan serius yang dirasakan langsung oleh pelaku industri.
Sejumlah pengusaha mengeluhkan sulitnya memperoleh pembiayaan dari perbankan. Mengutip pemberitaan Kontan.co.id, PT Mayer Indah Indonesia menyampaikan kondisi tersebut dalam pertemuan dengan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa. General Manager PT Mayer Indah Indonesia, Melisa Suria, mengungkapkan bahwa sejak September hingga Desember perusahaannya telah mendatangi lebih dari 20 bank untuk mengajukan pinjaman modal kerja. Namun, seluruh pengajuan tersebut ditolak.
Menurut Melisa, perbankan menilai industri tekstil berada dalam kategori berisiko tinggi sehingga tidak menjadi prioritas pembiayaan. Ia menyebut industri tekstil saat ini dianggap berada pada “lampu oranye hingga lampu merah”, yang membuat bank enggan menyalurkan kredit atau bantuan pembiayaan.
Kondisi tersebut dibenarkan oleh Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI). Sekretaris Jenderal APSyFI, Farhan Aqil Syauqi, menyatakan bahwa persepsi risiko terhadap industri tekstil masih sangat kuat di sektor perbankan. Bahkan, ketika kredit berhasil diperoleh, bunga pinjaman yang dikenakan berkisar antara 10% hingga 13%, angka yang dinilai terlalu tinggi bagi pelaku industri.
Farhan menilai situasi ini menjadi kontraproduktif, mengingat industri tekstil saat ini tengah berada dalam fase transisi menuju praktik yang lebih berkelanjutan. Transformasi tersebut membutuhkan dukungan pembiayaan dengan skema yang lebih kompetitif. Ia menegaskan bahwa tahun 2026 akan menjadi periode krusial bagi keberlangsungan sejumlah perusahaan tekstil, khususnya di sektor hulu. Oleh karena itu, APSyFI mendorong adanya dukungan pemerintah dan perbankan melalui kebijakan kredit berbunga rendah.
Dari sisi industri garmen, Ketua Umum Asosiasi Garment dan Textile Indonesia (AGTI) menilai berbagai persoalan yang membelit industri TPT merupakan akumulasi dari banyak faktor. Salah satunya adalah kebijakan pemerintah yang dinilai kerap tidak konsisten serta kurang mendukung terciptanya iklim usaha yang efisien akibat banyaknya hambatan regulasi.
Persaingan industri TPT juga semakin ketat, baik di pasar ekspor maupun domestik. Tanpa dukungan nyata dari pemerintah serta lembaga terkait seperti Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia (BI), industri TPT nasional dinilai akan semakin tertinggal dibandingkan negara pesaing.
Tekanan terhadap pelaku usaha juga diperberat oleh rencana kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) tahun 2026 yang rata-rata mencapai 6% hingga 7%. AGTI menilai kenaikan upah tersebut berpotensi membebani pengusaha apabila tidak disertai dengan peningkatan produktivitas dan efisiensi biaya. Selain itu, pelaku industri juga meminta pemerintah untuk mengurangi tumpang tindih regulasi dan beban sertifikasi yang berlebihan karena seluruh biaya tersebut pada akhirnya terakumulasi dalam struktur biaya produksi.
Meski menghadapi berbagai tantangan, AGTI menegaskan bahwa industri TPT bukanlah industri yang sedang menuju senja. Namun, diakui bahwa kinerja industri tekstil nasional mengalami tren penurunan dalam hampir tiga dekade terakhir. Pada era 1980-an, Indonesia pernah menjadi salah satu negara acuan industri tekstil dunia dan menjadikan sektor ini sebagai industri strategis dalam mendorong kemandirian sandang.
Saat ini, posisi Indonesia tertinggal dari sejumlah negara Asia seperti China, Bangladesh, Vietnam, India, Pakistan, hingga Kamboja. Data menunjukkan bahwa pada 2024, ekspor tekstil Vietnam mencapai US$44 miliar dan Bangladesh sebesar US$38,48 miliar, sementara Indonesia hanya mencatatkan ekspor sekitar US$11,9 miliar. Kendati demikian, AGTI menilai prospek industri TPT masih sangat terbuka apabila dilakukan pembenahan secara menyeluruh.
AGTI mendorong pemerintah untuk melakukan benchmarking ke negara-negara yang berhasil mengembangkan industri tekstilnya, seperti Vietnam dalam hal efisiensi rantai pasok dan integrasi investasi. Selain itu, Indonesia juga perlu belajar dari China, Thailand, dan Korea Selatan terkait penguatan sistem ritel modern dan digitalisasi pasar, serta penyederhanaan regulasi perizinan.
Menurut AGTI, berbagai insentif dan kemudahan seharusnya tidak hanya difokuskan pada penanaman modal asing baru. Pelaku usaha lokal serta perusahaan PMA yang telah lama beroperasi dan berkontribusi di Indonesia juga perlu mendapatkan dukungan serupa agar industri tekstil nasional dapat kembali kompetitif di tengah persaingan global.