Print

Pemerintah mengalokasikan dana sebesar Rp 2 triliun untuk memperkuat pembiayaan ekspor industri furnitur dan tekstil. Dana tersebut akan disalurkan melalui Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) sebagai upaya memperluas akses permodalan sekaligus meningkatkan daya saing produk nasional di pasar global.

Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mengungkapkan bahwa selama ini pembiayaan yang mengalir ke sektor furnitur dan tekstil masih jauh dari kebutuhan pelaku usaha. Hingga kini, total pembiayaan LPEI untuk kedua sektor tersebut baru berada di kisaran Rp 200 miliar, sementara permintaan dari dunia usaha mencapai belasan triliun rupiah.

Purbaya menyebut pelaku industri mengajukan kebutuhan pembiayaan hingga Rp 16 triliun. Menyikapi hal itu, pemerintah menyiapkan plafon awal sebesar Rp 2 triliun yang dapat dimanfaatkan oleh perusahaan tekstil dan furnitur. Melalui skema ini, pelaku usaha dapat mengakses pembiayaan dengan tingkat bunga sebesar 6 persen.

Menurut Purbaya, intervensi pemerintah diperlukan agar sektor padat karya seperti tekstil dan furnitur tetap mampu bertahan dan berkembang di tengah tekanan global. Kehadiran negara melalui penyediaan plafon pembiayaan baru diharapkan dapat membantu perusahaan memperoleh modal kerja maupun pendanaan ekspansi usaha.

Skema pembiayaan ini menetapkan batas maksimal kredit hingga Rp 2 triliun dengan bunga tetap 6 persen. Fasilitas tersebut sudah dapat dimanfaatkan langsung oleh pelaku usaha melalui LPEI tanpa perlu menunggu kebijakan lanjutan.

Purbaya menegaskan bahwa fasilitas pembiayaan ini bersifat selektif. Hanya perusahaan tekstil dan furnitur yang berorientasi ekspor yang dapat mengakses kredit tersebut. Kebijakan ini dirancang agar dana negara benar-benar digunakan untuk mendorong kinerja ekspor nasional sekaligus menjaga keberlangsungan industri padat karya.

Ia menambahkan, kebijakan pembiayaan ini merupakan bagian dari tindak lanjut kerja satuan tugas strategi debottlenecking yang dibentuk pemerintah untuk mengurai berbagai hambatan struktural di sektor manufaktur.

Sebelumnya, Purbaya memimpin langsung sidang perdana debottlenecking yang digelar di Kantor Pusat Kementerian Keuangan, Jakarta Pusat, pada Senin (23/12/2025). Sidang tersebut menjadi forum awal bagi pemerintah untuk menyelesaikan hambatan usaha melalui kanal pengaduan resmi.

Dalam sidang perdana itu, dibahas dua kasus utama. Kasus pertama berasal dari laporan PT Sumber Organik terkait penghentian sementara Bantuan Layanan Pengolahan Sampah (BLPS) yang bersumber dari APBN. Perusahaan tersebut mengelola fasilitas pengolahan sampah menjadi energi listrik di kawasan Benowo.

Kasus kedua menyangkut kesulitan pendanaan yang dialami PT Mayer Indah Indonesia. Perusahaan tekstil itu melaporkan penolakan pengajuan kredit modal kerja senilai Rp 4 miliar oleh sejumlah bank, meskipun telah memiliki pesanan yang siap untuk diproduksi.