Industri tekstil Indonesia tak luput dari pengenaan tarif impor resiprokal sebesar 19 persen oleh Amerika Serikat (AS). Kondisi ini mendorong pelaku usaha untuk mengalihkan fokus perjuangan dari negosiasi tarif ke pembenahan regulasi di dalam negeri agar daya saing industri nasional tetap terjaga.
Ketua Umum Asosiasi Garment and Textile Indonesia (AGTI) Anne Patricia Sutanto menilai, setelah kepastian bahwa produk tekstil tidak mendapatkan pengecualian tarif, langkah paling realistis yang bisa dilakukan adalah mendorong pemerintah memperbaiki iklim usaha di dalam negeri. Menurutnya, regulasi yang lebih kondusif akan membantu industri bertahan di tengah tekanan tarif dan persaingan global.
Pengenaan tarif 19 persen ini merupakan bagian dari kebijakan tarif impor yang diterapkan Presiden AS Donald Trump terhadap negara mitra dagang. Meski tarif untuk Indonesia diturunkan dari sebelumnya 32 persen, produk tekstil tetap tidak termasuk dalam daftar komoditas yang dikecualikan. Sebaliknya, sejumlah komoditas berbasis sumber daya alam tropis seperti kelapa sawit dan kakao justru disepakati mendapat fasilitas bea masuk nol persen.
Anne menyebut, sejak April 2025 pihaknya telah berharap pemerintah lebih fokus membenahi regulasi domestik. Dengan perbaikan tersebut, industri tekstil diharapkan memiliki ruang untuk meningkatkan daya saing dan mulai serius menggarap pasar tambahan di luar tujuan ekspor tradisional pada 2026. Ia menegaskan bahwa tantangan utama industri manufaktur saat ini justru berasal dari dalam negeri, bukan semata tekanan eksternal.
Menurutnya, apabila berbagai masukan dari pelaku usaha dapat ditindaklanjuti pemerintah, industri akan lebih siap menghadapi gempuran apa pun, termasuk tarif impor dan perlambatan global. Peningkatan daya saing, kata dia, menjadi kunci utama keberlanjutan industri tekstil nasional.
Di sisi lain, pemerintah Indonesia masih melanjutkan proses perundingan dengan pemerintah AS terkait kebijakan tarif resiprokal tersebut. Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian menyatakan perundingan belum sepenuhnya rampung dan masih akan dilanjutkan pada putaran final pada Januari 2026 bersama United States Trade Representative (USTR). Dengan demikian, penerapan tarif 19 persen secara penuh belum langsung berdampak pada ekspor di awal tahun.
Deputi Bidang Koordinasi Kerja Sama Ekonomi dan Investasi Kemenko Perekonomian Edi Prio Pambudi mengatakan, pemerintah masih membuka ruang pembahasan lanjutan, meski enggan merinci agenda pertemuan tahap akhir tersebut. Pada pertemuan sebelumnya, Indonesia dan AS telah menyepakati pengecualian tarif untuk komoditas sawit, yang kemudian diikuti komoditas tropis lainnya.
Namun demikian, pemerintah menegaskan bahwa produk tekstil tetap akan dikenakan tarif 19 persen. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan bahwa tekstil tidak masuk dalam kategori komoditas berbasis sumber daya alam asli Indonesia yang berhak mendapatkan pembebasan tarif. Dengan kepastian tersebut, industri tekstil kini dihadapkan pada pekerjaan rumah besar di dalam negeri, yakni memperkuat fondasi regulasi dan daya saing agar tetap bertahan di pasar global.