Print

Catatan Redaksi dari Nandi Herdiaman (Ketua Umum IPKB)

Di sebuah gang sempit di kawasan Soreang, Kabupaten Bandung, suara deru mesin jahit yang biasanya bersahutan bak orkestra produktivitas, kini mulai terdengar patah-patah. Di sana, para penjahit lokal tidak hanya sedang bertarung dengan pola kain, tetapi juga dengan kepastian hari esok. Bagi Nandi Herdiaman, Ketua Umum Ikatan Pengusaha Konveksi Berkarya (IPKB), sunyinya sentra-sentra konveksi bukan sekadar masalah ekonomi biasa—ini adalah luka bagi kedaulatan sandang bangsa.

Nandi berdiri di garda terdepan mewakili ribuan Industri Kecil Menengah (IKM) yang selama ini menjadi tulang punggung ekonomi kerakyatan. Baginya, narasi industri garmen Indonesia saat ini adalah tentang sebuah "benteng yang sedang dikepung dari dalam."

Serangan di Pasar Digital

Pemikiran Nandi selalu berakar pada apa yang terjadi di lantai pasar. Ia melihat transisi belanja ke platform digital bagaikan pedang bermata dua. Di satu sisi, teknologi membuka akses, namun di sisi lain, ia melihat bagaimana algoritma seringkali lebih berpihak pada "harga termurah" tanpa peduli dari mana barang itu berasal.

Nandi seringkali melontarkan keresahannya mengenai fenomena predatory pricing di social commerce. "Bagaimana mungkin sebuah kaos jadi yang diimpor dari luar negeri bisa dijual seharga satu liter beras, sementara harga kain mentahnya saja di pasar lokal sudah lebih mahal dari itu?" tanyanya retoris dalam berbagai kesempatan. Bagi Nandi, ini bukan soal pengusaha lokal yang tidak efisien, melainkan soal melawan raksasa yang masuk dengan cara-cara yang tidak adil.

Kebijakan yang Menusuk dari Belakang

Dalam setiap diskusinya, Nandi Herdiaman konsisten mengkritik kebijakan yang dianggap "memanjakan" barang jadi impor. Baginya, setiap relaksasi aturan impor pakaian jadi adalah pengkhianatan terhadap keringat para penjahit di pelosok desa. Ia memandang industri garmen sebagai satu kesatuan ekosistem. Jika hilirnya—yakni konveksi—mati karena gempuran barang impor, maka industri hulu seperti pabrik kain dan benang nasional akan kehilangan pembeli utamanya.

Ia memimpikan sebuah regulasi yang "tegas di pintu masuk, namun ramah di dalam rumah." Nandi sering menyuarakan bahwa perlindungan terbaik bagi IKM bukanlah subsidi tunai, melainkan perlindungan pasar. Ia mendesak pemerintah untuk berani menutup keran impor untuk barang-barang yang sebenarnya sudah bisa diproduksi dengan sangat baik oleh tangan-tangan penjahit lokal.

Mencari Keadilan di Pintu Pelabuhan

Satu hal yang paling membekas dari pemikiran Nandi adalah pandangannya mengenai penegakan hukum. Ia adalah sosok yang paling lantang berteriak ketika Satgas Impor Ilegal mulai merazia pasar-pasar tradisional. Bagi Nandi, merazia pedagang kecil adalah tindakan yang salah sasaran dan hanya menciptakan ketakutan.

"Tangkap tikusnya di gudang besar dan pelabuhan, jangan obrak-abrik warungnya di pasar," demikian filosofi yang sering ia gaungkan. Ia berpendapat bahwa selama kebocoran di pintu masuk utama (pelabuhan) tidak ditambal secara permanen, maka banjir barang ilegal akan terus menenggelamkan usaha konveksi lokal, sekeras apa pun mereka berusaha untuk bangkit.

Meski kondisi terasa kelam, Nandi tidak pernah kehilangan optimisme. Perjuangannya di IPKB adalah tentang martabat. Ia ingin mengembalikan masa kejayaan di mana label "Made in Indonesia" bukan sekadar simbol, melainkan pilihan utama rakyatnya sendiri. Pemikirannya mendorong pengusaha konveksi untuk terus berinovasi dalam desain dan melek digital, namun dengan syarat pemerintah memberikan lapangan permainan yang adil (level playing field).

Bagi Nandi Herdiaman, setiap mesin jahit yang berhenti berputar adalah satu keluarga yang kehilangan harapan. Itulah mengapa ia terus bersuara, melintasi ruang-ruang birokrasi, hanya untuk memastikan bahwa di hari esok, orkestra mesin jahit di Soreang, Majalaya, dan seluruh pelosok negeri akan kembali bergemuruh kencang—membuktikan bahwa konveksi lokal belum dan tidak akan pernah mati.