Tahun 2025 menjadi saksi transformasi besar dalam peta perdagangan pakaian jadi global. Di pusat pusaran ini, dua raksasa Asia Selatan, Bangladesh dan India, sedang berpacu dengan waktu untuk menaklukkan sebuah tantangan teknologi kecil namun berdampak masif: Digital Product Passport (DPP) atau Paspor Produk Digital dari Uni Eropa.
Dahulu, sebuah kaus dari Bangladesh atau India hanya dinilai dari kecepatan jahit dan rendahnya harga. Namun, mulai tahun 2025, aturan main berubah total. Uni Eropa tidak lagi hanya bertanya "Berapa harganya?", melainkan "Berapa banyak air yang digunakan?", "Dari mana kapas ini berasal?", dan "Berapa jejak karbon yang dihasilkan?".
DPP hadir dalam bentuk kode QR atau tag NFC seukuran kuku yang tersemat pada label pakaian. Di balik pemindaian sederhana itu, tersimpan seluruh "DNA" produk—mulai dari asal bahan baku, kondisi tenaga kerja, hingga seberapa mudah pakaian tersebut didaur ulang. Badai
Bagi Bangladesh, kepatuhan terhadap regulasi Uni Eropa adalah "oksigen" bagi ekonomi nasionalnya. Dengan lebih dari separuh ekspor garmennya bermuara di Eropa, negara ini tidak menunggu hingga aturan ditegakkan secara paksa pada tahun 2027.
Asosiasi Produsen dan Eksportir Garmen Bangladesh (BGMEA) telah menandatangani kesepakatan strategis dengan perusahaan teknologi blockchain. Selama 24 bulan ke depan, pabrik-pabrik di Bangladesh akan mulai menyetorkan data ke dalam "brankas digital" yang aman. Mereka bertekad untuk fasih menggunakan "bahasa digital" ini sebelum ujian sebenarnya dimulai. Dengan penguasaan teknologi blockchain, Bangladesh berambisi mengubah citranya dari produsen massal yang murah menjadi pusat manufaktur yang bertanggung jawab dan transparan.
Di seberang perbatasan, India menghadapi rintangan yang sedikit berbeda. Meskipun memiliki pabrik-pabrik tekstil raksasa yang modern di wilayah Gujarat, jantung industri garmen India juga berdenyut di bengkel-bengkel kecil atau UMKM yang tersebar di wilayah seperti Tiruppur.
Tantangan terbesar India adalah menjembatani kesenjangan digital. Banyak produsen kecil yang masih memiliki sistem pendataan manual, sehingga biaya transisi menuju sistem pelacakan digital menjadi beban yang nyata. Namun, pemerintah India melihat celah ini sebagai peluang untuk melakukan "rebranding" nasional. Melalui kolaborasi dengan Uni Eropa, India kini mengintegrasikan regulasi DPP ke dalam visi "Sustainable Bharat Mission", mendorong ribuan produsen kecilnya untuk naik kelas menjadi mitra global yang selaras dengan nilai-nilai keberlanjutan.
Pesan dari Uni Eropa sudah sangat jelas: siapa pun yang ingin berjualan di pasar mereka harus membuka "buku catatan lingkungan" mereka secara penuh. Dengan rincian teknis yang akan difinalisasi pada akhir 2026, tekanan akan semakin menguat hingga tahun 2030.
Bagi Bangladesh dan India, beberapa tahun ke depan adalah masa penentuan. Paspor Produk Digital bukan sekadar beban administratif, melainkan alat kekuasaan baru. Mereka yang mampu beradaptasi lebih awal akan memenangkan "emas" baru dalam dunia mode: Kepercayaan Konsumen. Sebaliknya, mereka yang tertinggal dalam kegelapan data akan mendapati pintu pasar Eropa tertutup rapat bagi mereka.