Print

Di balik label pakaian yang tergantung di etalase toko-toko global, tersimpan realita kelam dari pabrik-pabrik garmen di Myanmar. Sejak kudeta militer pada Februari 2021, sektor garmen yang menjadi tulang punggung ekonomi negara tersebut kini berubah menjadi lingkungan kerja yang "ditenun dengan ketakutan."

Sebuah laporan terbaru dari Business and Human Rights Center (BHRC) mengungkapkan eskalasi pelanggaran hak asasi manusia yang sistemis. Sepanjang Maret 2021 hingga Oktober 2024, BHRC melacak sedikitnya 665 tuduhan pelanggaran berat. Laporan bertajuk briefing 18 Desember ini menyoroti bagaimana runtuhnya perlindungan tenaga kerja dan represi militer saling memperkuat satu sama lain untuk menciptakan eksploitasi tanpa hukuman.

Lingkungan Kerja yang Koersif

BHRC menemukan bahwa kerja paksa dan lembur berlebihan telah menjadi fitur tetap dalam sistem produksi. Lebih dari 50 persen kasus yang tercatat (349 kasus) melibatkan kuota produksi yang tidak masuk akal dan lembur wajib. Para pekerja melaporkan kelelahan ekstrem, pingsan, hingga kurang tidur karena harus bekerja semalaman tanpa transportasi atau makanan yang memadai.

"Bukti-bukti menunjukkan kondisi di mana perlindungan telah memburuk sedemikian rupa sehingga praktik berbahaya terjadi tanpa hambatan. Pekerja menghadapi paparan terus-menerus terhadap paksaan, ketidakamanan, dan pembalasan," tulis laporan BHRC.

Selain tekanan kerja, kekerasan berbasis gender menghantui para buruh wanita, yang mencakup 36 persen dari total kasus. Laporan tersebut mendokumentasikan pelecehan verbal, intimidasi, hingga serangan fisik seperti penarikan rambut bagi mereka yang gagal memenuhi target produksi.

Represi di Luar Pabrik

Kekerasan ini tidak berhenti di gerbang pabrik. Menjelang pemilihan umum 2026 yang kontroversial, militer Myanmar dilaporkan meningkatkan represi terhadap masyarakat sipil. Amnesty International baru-baru ini merespons laporan serangan udara militer terhadap sebuah rumah sakit di Negara Bagian Rakhine yang terjadi tepat pada malam Hari Hak Asasi Manusia Internasional.

Joe Freeman, peneliti Myanmar di Amnesty International, memberikan pernyataan tegas terkait situasi ini:

"Tidak ada tempat dan tidak ada orang yang aman dari kekerasan militer Myanmar, yang memperluas represinya menjelang pemilu... Hampir lima tahun setelah kudeta militer, komunitas internasional harus mengambil tindakan terpadu, terarah, dan efektif untuk meminta pertanggungjawaban para pelaku."

Dilema Merek Internasional

Situasi ini menempatkan merek-merek fashion global dalam posisi sulit. Beberapa merek memilih hengkang, sementara yang lain bertahan dengan klaim "uji tuntas" yang ditingkatkan. Salah satunya adalah label Jerman, Engelbert Strauss, yang menyatakan bahwa produksi di Myanmar masih memungkinkan melalui konsultasi ketat dengan pemangku kepentingan nasional dan internasional.

Namun, BHRC memperingatkan bahwa merek yang tetap mengambil pasokan dari Myanmar akan diingat oleh sejarah. "Pertanyaannya bukan apakah perusahaan ingin bertindak bertanggung jawab, tetapi apakah mereka dapat melakukannya secara nyata di lapangan," tegas organisasi tersebut.

Dengan ruang sipil yang runtuh dan pengawasan audit yang dimanipulasi—termasuk pemasangan kamera CCTV di depan toilet pabrik—masa depan jutaan buruh garmen Myanmar kini bergantung pada ketegasan komunitas internasional dan transparansi rantai pasok merek-merek dunia.